Menuju Ketahanan Energi Nasional - Diversifikasi Sumber dan Penggunaan
Oleh : Sampe L. Purba
Tahun 2014 adalah tahun terakhir dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014. Rencana Kerja Pemerintah tahun 2014 menekankan pada isu strategis (1) pemantapan perekonomian nasional, (2) peningkatan kesejahteraan rakyat, dan (3) pemeliharaan stabilitas sosial dan politik. Asumsi dasar RAPBN 2014 menetapkan pertumbuhan ekonomi 6 %. Lifting minyak 870.000 barel/ hari (bph) dan liftings gas 1.240 ribu barel setara minyak per hari. Harga minyak ICP US $ 105/ barel. Total kebutuhan BBM adalah 1,4 juta bph. Pemerintah melalui Pertamina mengimpor minyak mentah 350.000 bph dan produk bbm 400.000 bph. Dalam rencana belanja negara sebesar Rp. 1.842,5 triliun, terdapat subsidi energi sebesar Rp. 282,1 triliun. Jumlah ini jauh lebih besar dari realisasi APBD seluruh Indonesia tahun 2013 untuk belanja modal, barang dan jasa yang hanya Rp. 94 triliun. Ironisnya dalam tahun 2012 diinformasikan bahwa 77% subsidi tidak tepat sasaran.
Meningkatkan produksi migas dari lapangan-lapangan tua memerlukan biaya yang relatif lebih besar karena produktivitas lapangan yang menurun dan biaya perawatan alat-alat produksi yang meningkat untuk menjaga keandalan fasilitas. Lemahnya implementasi koordinasi percepatan penyelesaian pemasalahan yang berkaitan dengan perizinan, tumpang tindih dan pembebasan lahan serta keamanan, sekalipun telah diterbitkan Inpres no. 2 tahun 2012, dan tambahan beban bagi aktivitas eksplorasi dengan ekstensifikasi perpajakan, bea dan pungutan lainnya, merupakan disinsentif kegiatan hulu migas.
Pertumbuhan ekonomi di satu sisi, dan produksi migas yang menurun secara alamiah, membuat gap/ jurang antara sisi supply dan demand semakin melebar. Mengandalkan migas untuk penerimaan negara dan sebagai sumber energi baik untuk konsumsi, kelistrikan, industri dan transportasi sudah tidak tepat. Karena itu adalah penting untuk mewujudkan diversifikasi sumber daya energi Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Perpres 5 tahun 2006 tentang Bauran Energi Nasional. Saat ini minyak masih merupakan porsi terbesar dalam bauran energi (49,7%). Energi terbarukan (EBT) masih sekitar 6%. Sesuai PerPres tersebut, pada tahun 2025, komposisi bauran energi nasional terdiri dari minyak 20%, gas 30%, batu bara 33% dan EBT 17%. Diperlukan Kolaborasi Pemerintah dan swasta dalam bentuk public private partnership (PPP) untuk mengakselerasinya.
Pemanfaatan gas bumi nasional diharapkan berimbang dengan proyeksi 56% untuk ekspor dan 44% untuk domestik. Masih tingginya proporsi ekspor adalah karena beberapa lapangan gas telah terikat dengan kontrak jangka panjang, harga ekspor yang jauh lebih mahal perlu untuk menambah penerimaan Pemerintah dan meningkatkan keekonomian lapangan, serta terbatasnya infrastruktur domestik.
Kebijakan pengelolaan energi harus mengubah paradigma sumber daya energi sebagai komoditas menjadi modal pembangunan nasional. Untuk menghilangkan kerancuan perlu dibedakan antara kedaulatan energi, ketahanan energi dan kemandirian energi. Ketahanan energi adalah terpenuhinya ketersediaan (availability), kemampuan untuk membeli (affordability), dan adanya akses (accessibility), serta ramah lingkungan (environment friendly). Kemandirian energi adalah kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keaneka ragaman energi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat. Kedaulatan energi adalah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi.
Pemanfaatan Sumber Daya Energi dalam Pembangunan Ekonomi Nasional adalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer dan sekaligus mampu menetapkan dan mengamankan cadangan penyangga energi nasional. Implementasi kedaulatan energi akan diuji tidak saja pada tataran normatif tetapi akan konkrit pada berbagai kebijakan. Proyek Asahan misalnya dapat menjadi test case. Kebutuhan Listrik saat ini di Sumatera Bagian Utara pada beban puncak mencapai 1.655 MW, sementara kemampuan pasok seluruh pembangkit yang ada hanya sekitar 1.405 MW sehingga ada defisit 250 MW. Apakah Pemerintah mampu membuat new deal dengan PT INALUM untuk mengalihkan sebagian dari kapasitas pembangkit listriknya untuk menutup defisit listrik. Proyek PLTA INALUM menghasilkan listrik 604 MW dipasok pada harga hanya US$ 1 sen/ KwH ke afiliasinya Pabrik Pengolahan Aluminium Kuala Tanjung, sementara harga listrik untuk industri wilayah sekitar adalah $ 8 - 9 sen/KwH.
Peran energi harus mampu meningkatkan kegiatan ekonomi sekaligus sebagai alat ketahanan nasional. Akses terhadap energi masih terbatas. Rasio elektrifikasi nasional adalah 73%, dengan penyerapan yang timpang. Kalau di Jakarta sudah hampir 100%, sementara di Nusa Tenggara dan Papua hanya berkisar 30 - 40%. Pulau Jawa sendiri menyerap 88,2% konsumsi listrik Nasional.
Selain jaminan pasokan dan harga energi dari supply side, perlu ditata juga dari demand side. Untuk menekan demand side, Pemerintah perlu membangun sistem transformasi massal. Hal ini jauh lebih penting daripada memberikan fasilitas PPnBM pada Low Cost Green Car yang malah mendorong peningkatan konsumsi energi. Peningkatan kesadaran pelaku usaha dan masyarakat, dengan diversifikasi dan konservasi energi, hanya akan efektif mana kala Pemerintah memiliki konsep dan prioritas yang diimplementasikan secara konsisten. Untuk Indonesia yang lebih baik.
Jakarta, Januari 2014