Pilihan lain yang tersedia adalah dengan mewajibkan Perusahaan perusahaan itu untuk bertukar (swap) lapangan produksi migasnya di luar Negeri kepada Pemerintah melalui Pertamina atau Badan Usaha Milik Negara lainnya. Ini akan menghemat devisa sekaligus memperkuat portofolio kepemilikan cadangan migas Pertamina yang pada akhirnya memperkuat ketahanan energi. Â Penguatan badan usaha milik negara adalah juga bagian dari nawacita Presiden.
Membangun kilang minyak domestik itu mahal. Tingkat pengembalian modal dan marginnya kecil. Serta juga memerlukan feedstock minyak mentah yang stabil dari sisi pasokan maupun harga.
Berdasarkan road map infrastruktur kilang minyak bumi, Pemerintah mentargetkan peningkatan kapasitas pengolahan kilang dengan membangun beberapa kilang baru dengan kapasitas 456 MBCD, dan pengembangan kilang eksisting dengan kapasitas 438 mbcd. Itu menelan biaya yang mahal. Sebagai gambaran, Proyek Peningkatan kapasitas dan kompleksitas (Refinery Development Master Plan/ RDMP Kilang Minyak Cilacap misalnya. Â Proyek tersebut menurut pemberitaan diperkirakan menelan biaya sekitar $ 5 - $ 6 milyar, hanya untuk meningkatkan kapasitas dari 348.000 barel per hari menjadi 400.000 barel.
Di sisi hilir, Â pangsa pasar Indonesia yang besar dapat menjadi posisi tawar yang kuat. Saat ini Pertamina mengimpor sekitar 250 ribu barel minyak mentah per hari, disamping impor bensin 9 juta barel per bulan dan 1 juta barel per bulan untuk avtur. Sekiranya ada kebijakan yang holistik, integral dan terpadu, Pemerintah dapat mengundang mitra asing untuk membangun kilang, storage dan jaringan distribusi di Indonesia, berkongsi dengan BUMN atau Pertamina.Â
Imbalannya adalah pasar yang terbuka. Mudah-mudahan akselerasi program BBM satu harga akan terwujud secara sustainabel. Selama periode pembangunan, insentif perpajakan dan bea masuk dapat diberikan. Perlindungan hukum dalam bingkai hukum korporasi, juga mutlak diberikan ke Pertamina dan BUMN sebagai konsekuensi dan lanjutan dari penugasan tersebut.
Posisi tawar Pemerintah sesungguhnya sangat kuat. Baik di sisi hulu terhadap kebijakan wilayah kerja yang akan berakhir, maupun penguatan struktur pasar dan infrastruktur di sisi hilir. Ini bukan soal nasionalisasi. Tetapi adalah Nasionalisme. Itulah esensi dan substansi energi berkeadilan.
Jakarta, Â Â Mei 2018
Penulis -- Praktisi Profesional -- Aktif di Komunitas Energi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H