Membangun Papua versus Membangun di Papua.
Oleh : Sampe L. Purba
Tulisan ini merupakan catatan untuk memperkaya buku “Manajemen dan Resolusi Konflik di Tanah Papua” yang ditulis oleh DR. Stepanus Malak, tahun 2013. Beliau adalah seorang akademisi, birokrat, native Papua dengan cita keIndonesiaan yang kuat, serta praktisi politisi. Saat ini menjabat sebagai Bupati Kabupaten Sorong untuk periode kedua. Memuat berbagai latar dan perspektif terkait dengan kondisi umum Papua, dari sisi tata Pemerintahan, ekonomi dan politik, demografi, serta tarikan dan dorongan berbagai kepentingan Pemerintah dan Perusahaan Multinasional. Buku tersebut juga membahas konflik sumber daya, hak adat, dominasi para pendatang yang memarginalisasi penduduk ras melanesia asli, penyeimbangan serta dinamika dan relasi konfliktual dalam dimensi perlawanan bersenjata dan non senjata, serta setting dan kompleksitas implementasi desentralisasi dan otonomi khusus. Pada bagian akhir, untuk resolusi konflik dan prospek Papua dalam NKRI, diidentifikasi empat hal yang perlu dilaksanakan secara paralel dan simultan dengan gradasi kepentingan seimbang. Keempat hal tersebut adalah pelurusan sejarah Papua dalam integrasi dengan RI, pemajuan kesejahteraan dengan metode dan implementasi yang pas, perlindungan HAM dan penyelesaian berbagai kasus ketidak adilan, penghormatan terhadap martabat kemanusiaan serta pemihakan untuk pemberdayaannya.
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menyiratkan dan mengakui Papua sebagai bagian integral NKRI memiliki gap gradasi yang besar dari aspek sosial, ekonomi, budaya, demografi dan geografi dengan bagian wilayah lainnya di Indonesia. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua (sekitar 250 suku) dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik tahun 2000 jumlahsuku asli Papua bervariasi mulai dari 4 orang (suku Urundi)hingga 148.000 orang (suku Lani), dengan total 1.461.000 orang.Suku-suku bangsa ini memiliki tingkat kemajuan peradaban yang berbeda-beda mulai dari setara pra zaman batu yang bahkan belum mengenal koteka,hingga masyarakat modern yang terutama berasal dari daerah Biak, Serui dan Pesisir.
Membangun di Papua tidak sama dengan membangun Papua. Kebijakan transmigrasi misalnya dapat mempercepat akulturasi, integrasi, penyeimbangan demografis dan promosi modernitas. Namun, mengingat kultur masyarakat asli yang menyatu dengan alam, dihadapkan dengan masyarakat pendatang yang mengolah dan mengeksploitasi alam, akan beresiko meminggirkan dan memarginalisasi masyarakat asli apabila tidak ada affirmative action dalam bentuk pemihakan, pendampingan dan preferensi penguatan kepada mereka.
Bagi masyarakat adat, tanah adalah sama dengan ibu yang memiliki hubungan dan ikatan tidak terputus secara genealogis, psikologis, spritualitas dan sosiologis. Pelepasan hak atas tanah adat berdasarkan norma hukum agraria tidak akan efektif dan selalu potensial untuk dipalang, direbut dan dikuasai kembali. Karena itu perlu ada penyesuaian peraturan dan kebijakan untuk tetap memelihara hubungan kapitalisasi tanah adat dengan peri kehidupan masyarakat. Ibarat hubungan spritual emosional yang tidak terputus dengan ibu sekalipun telah meninggal dunia.
Pendidikan adalah kunci untuk mempercepat mobilitas vertikal. Pemerintah dapat menugaskan aparat TNI dalam bhakti sosial sebagai guru dan tenaga kesehatan dengan rotasi reguler, sambil mempersiapkan tenaga lokal. Sudah saatnya Pemerintah menyesuaikan aturan, sehingga masyarakat melek huruf setempat dapat diangkat sebagai guru tanpa harus disamakan dengan standar yang berlaku nasional.Model seperti ini pernah dilakukan pemerintah kolonial di Indonesia dan berhasil mempercepat angka melek huruf.
Mengingat tingkat persebaran penduduk yang tidak merata, dan kondisi geografis yang terisolasi dan tidak mudah untuk dihubungkan sarana dan pra sarana jalan, pembangunan harus dapat mandiri pada masing-masing enclave/ distrik untuk mendirikan sekolah, puskesmas,pasar dan prasarana umum lainnya. Di pedalaman Papua terdapat sungai-sungai besar dengan topografi kemiringan yang cukup, sehingga dapat diusahakan microhydro untuk membangkitkan energi listrik.
Papua kaya dengan sumber daya alam lainnya seperti perikanan, hasil hutan, gas alam dan bahan galian emas dan tembaga. Dalam semangat public-private-partnership, Pemerintah hendaknya “memaksa secara komersial” agar perusahaan ekstraksi sumber daya alam, membangun industri pengolahan bahan mentah di Papua. Hal ini hanya dimungkinkan apabila tersedia listrik dan prasarana perhubungan yang memadai. Pemerintah Pusat harus rela mengorbankan sebagian pendapatan (fresh money) sumber daya alamnya berkurang, untuk investasi infrastruktur yang memadai.
Rencana pemekaran Papua menjadi beberapa Provinsi lagi - sebagaimana hasil masa sidang DPR Oktober yang lalu, tampaknya bukan merupakan jawaban yang efektif. Persyaratan administratif, teknis dan fisik belum mendukung untuk itu. Berapa banyak lagi sumber daya dan dana yang diperlukan untuk membiayai roda pemerintahan yang akan mengurangi alokasi anggaran pembangunan. Apakah formasijawatan dan dinas – dinasbaru akandapat diisi oleh putra putri daerah dengan kompetensi yang memadai?. Atau apakah ini hanya merupakan akomodasi terhadap segelintir elit untuk mendapatkan jabatan, yang bahkan potensial menyulut ketegangan baru.
Membangun Papua memerlukan simpati, empati dan kejujuran - dari kaca mata, perspektif masyarakat Papua dalam bingkai NKRI.
Jakarta,Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H