Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahasa Politik

14 Mei 2014   17:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Peolotik

Oleh : Sampe L. Purba

Menjelang PilPres ini kita menemukan kosa kata dan bahasa politik yang berseliweran, bising makna, tetapi dikemas sebagai sebuah tontonan membosankan namun memiliki daya tarik kepenasaran akibat sebuah keterpaksaan. Ambillah contoh soal koalisi. Dua partai dari yang berseberangan dan saling intip, serang dan fitnah, dapat duduk mesra membicarakan koalisi mengusung capres, yang digaris bawahi – bukan atas nama politik transaksional, melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Dua kubu dengan ideologi dan mazhab politik dan massa ekstrim berbeda, akan dengan bangga menyampaikan bahwa mereka sudah memiliki kesamaan ideologi, platform dan program serta siap untuk bergandengan tangan membangun Indonesia yang lebih baik. Tidak untuk mengejar jabatan atau status, karena itu hanyalah instrumen mikro yang dapat dikesampingkan untuk tujuan besar yang lebih mulia dan luhur. Namun mana kala, jagoannya tersingkir sebagai cawapres atau calon menteri, serta merta prinsip yang tadi berubah menjadi cerca dan caci maki dengan bahasa tingkat tinggi. Kawan seiring segera ditinggalkan dan mencoba beralih ke lain poros ke lain hati.

Meninggalkan dan ditinggalkan pada saat-saat genting yang menentukan adalah aib bagi sebuah ketulusan kerja sama persahabatan. Namun itu adalah lumrah dan niscaya dalam bahasa politik. Pengkhianatan dalam bahasa awam adalah sehina-hina peri laku., namun dalam bahasa politisi itu adalah credo suci yang berarti penyesuaian, adaptasi, fleksibilitas dan kecerdasan menangkap cairnya asap pendulum politik.

Seorang politisi yang sepanjang tahun beriklan lantang mengkritik mengecam arah kebijakan, peri laku dan capaian Pemerintahan incumbent, sambil menyodorkan tawarananti tesis sebagai program unggulan yang walau muskil dan ekstrim, dapat serta merta berubah memuji dengan bahasa merdu, mana kala tokohnya digandeng jadi teman seiring. Tidak lupa berjanji meneruskan program yang setengah mati ditentang dicercanya.

Tokoh saingan yang berinisiatif luwes terbuka menginisiasi kontak dan komunikasi politik dengan berbagai kalangan, dicerca habis sebagai politisi ngebet yang haus kekuasaan. Namun mana kala pencerca sudah tertinggal dan ditinggal kereta, segala daya upaya dan banting harga dilakukan mendekat dan menguber sang saingan ke gunung, resort hingga ke pasar yang sumpek. Sambil tak lupa berucap – ini bukan mengejar jabatan, tapi demi sebuah pengabdian. Suara rakyat suara Tuhan, yang disabdakan partai kami.

Seorang tokoh yang mempertontonkan keluguan, dan mengaku nggak mikir untuk jabatan presiden, tak lama sambil mencium bendera mendeklarasikan dirinya untuk siap pada jabatan tertinggi. Kecaman dan pujian silih berganti, dari orang dan kubu berbeda atau kubu yang sama tergantung suasana hati dan konstelasi khayalan bayangan.

Berbalik dan menusuk teman koalisi dalam sebuah voting di parlemen adalah hal biasa. Si penusuk bangga mengklaim wujud perjuangan aspirasi rakyat dan konstituen. Sementara pemimpin koalisi yang sebelumnya berkoar akan menghukum pengkhianat malah diam bungkam. Bukan karena takut atau pengecut. Namun dikemas sebagai wujud kearifan kenegarawanan.

Ada politisi deklarasi presiden dan wapres dari partai yang sama. Walau muskil bin ajaib akan terwujud tetapi semua diam dan mengamini. Ibarat simbiosis mutualisme, sang tokoh utama mendapat porsi kampanye gratis di media sang calon wapres. Sementara sang calon wapres mendapatkan pelabuhan politik. Sayang pelabuhan bukan pesanggarahan yang nyaman. Setelah pesta demokrasi usai, sang tokoh nomor dua langsung digoyang dan mau ditendang. Ini bukan soal lupa kacang akan kulitnya, air susu dibalas dengan air tuba. Tetapi semata-mata mewujudkan hukum besi politik – tendang pecundang as if malin kundang.

Bahasa politik juga menghadirkan melodrama tak kalah lucu. Sang Ketum Panglima yang merapat ke satu Partai langsung dipecat karena dianggap khianat membela musuh di saat perang. Namun aneh bin ajaib, tak lama kemudian bak paduan suara, semua merapat ke Partai musuh. Ini bukan inkonsistensi – tetapi wujud ijtihad luhur sebuah islah.

Bahasa politisi juga merambah ke ruang sastra. Puisi digubah sedemikian, saling serang, sindir dan fitnah. Ada yang rapopo ada pula yang raisopopo. Tapi tenanglah wahai teman sebangsa. Mereka nanti akan bahu membahu, pangku memangku atau jilat menjilat. Biduk lalu kiambang bertaut. Kepentinganlah yang abadi.

Ada lagi yang tidak punya partai, tidak punya massa, atau presiden band. Mereka gede rumongso sebagai tokoh atau tak sadar ditokohkan sesaat. Ibarat pertapa yang turun gunung, para tokoh tua meramaikan jagad. Ada yang menyetir ayat-ayat suci, bab-bab hukum atau pragmatisme track record. Menjajakan diri ke sana kemari, sambil tak lupa mantra nasionalisme – demi Indonesia yang lebih bermartabat. Ketika tidak diajak dalam perhelatan koalisi., menjadi mutung dan murung mengecam dan murka, menyeru durhaka partai yang semula diagung puji masyhurkan. Ini pun bukan inkonsistensi. Sang tokoh kecewa membela diri.

Duh Gusti Betara Pengayom Jagad.., nyatalah jagat perpolitikan hanya milik kesatrya dan para brahmani. Rakyat tak lebih deretan statistik, mana kala jari dicelup di bilik suara. Bijaklah kawula negeri, jangan ikut-ikutan dalam babad goro-goro. Mana kala para kesatrya bertapa, bertarung atau berdiplomasi.., dengan bahasa ngawur terukur. Marilah diam mengelus dada, sambil bermohon ke Yang Kuasa, semoga tobat sebelum kualat. Kawula rakyat kaum sudra, dituntut kuat menanggung nestapa.

Medan, Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun