Mohon tunggu...
AnjaS Anak Jalanan "S"
AnjaS Anak Jalanan "S" Mohon Tunggu... -

sudahilah !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pesan dari Luka

18 Mei 2015   23:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:51 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pesan luka yang belum sempat tersampaikan, kabar duka dari Negeri Ujung, disambut dengan kesuraman Langit Parangteritis begitu gelap, bulir-bulir hujan mulai menetes dari langit, menghenyakkan suasana riuh menjadi senyap.

Senin, pukul, 04.00 sore WIB.

Hari itu kami berangkat menuju Parangteritis, motor kami pacu dengan pelan karena Suasana jalan begitu ramai dan Langit seolah akan runtuh. Awan mengepul hitam sesekali tetesan hujan akan menghentikan perjalanan kami. Namun, semangat yang menggebu-gebu rinai hujan kami terabas begitu saja. Sesekali motor kami pacu dengan kecepatan tinggi untuk cepat sampai di tempat tujuan. Seuntai pengharapan tentang ikhwal keindahan tersaji, entah hanya aku yang mengimajinasikan suasana yang eksotis di pantai itu. Paranggteritis yang terkenal dengan sebutan Pantai selatan yang di huni oleh Nyi Roro Kidul. Cerita legenda diagunkan oleh Rakyat Jawa dan disematkan polesan kiasan yang indah. Sungguh aku terbuai dalam khayalan imajinasi dalam pikiran ku.

Ahh…. Ternyata bukan hanya aku yang pertama kali berkunjung di tempat itu, dua orang teman ku yang lain belum pernah juga mengunjungi pantai Parangteritis. Tapi, mungkin akulah paling antusias untuk mengujungi pantai itu. Jauh hari sebelum kedatangan dua orang ini, aku telah merencanakan untuk berkunjung ke tempat tersebut. Tapi, tak kunjung ditunaikan.

Sementara, Dua orang ini hanya korban bualan si Christy yang hendak mempertemukan aku dengan Nadia. Nadia hanya menemani keponakannya yang pindah dari Negeri Ujung. Kebetulan hari itu, sang keponakan ikut ke pantai Parangteritis. Sikap Nadia terhadap ku begitu dingin. Aku yang tak terbiasa komunikasi dengan perempuan sehingga tak mampu menghidupkan suasana menjadi riuh. Di tempat kami menunggu kedatangan dua orang yang lain Dinar bersama Resa hanya menyisihkan kesenyapan, pertemuan kami terasa kaku, dan lidah terasa keluh untuk berucap. Pintu gerbang Pantai Parangteritis menjadi saksi bisu pertemuan kami.

Sungguh, menunggu telah mengusik penantian ku ke Pantai Parangteritis yang tinggal sejengkal di depan mata. Rasa penasaran mengepul dalam ingatan dari cerita imajiner, terkadang rasa risi hadir menggedor benak yang tak sabar untuk meninggalkan mereka. Sekitar sepuluh menit berlalu, terpaksa kami harus pergi karena kaki langit mulai terasa gelap, matahari tertutup awan hitam, dan senja berangsur-angsur menuju malam. “Biarkan mereka menemukan kita di pesisir pantai, toch dua orang itu sudah sering ke pantai ini” ujar Sabik.

Kami pun, berduyung-duyung menuju pantai mengambil jalur yang berbeda. Aku bersama Christy mengambil jalur dekat kantor polisi sedangkan Sartono bersama keponakannya Nadia dan Sabik bersama Nadia berjalan lurus menuju pantai. Sesekali aku bergurau dengan Christy tentang Ikhwal pertemuan Aku dengan Nadia. Pertemuan kami terasa dipaksakan tak ada skenario Tuhan yang indah mewarnai pertemuan kami. Semua terasa lelucon tapi nyata, entah Nadia merasakan itu. Namun, Christy begitu antusias mempertemukan kami. Aku merasa bingun sendiri, pinggir pantai sudah di depan mata, tak ada lagi bualan, gemeru suara ombak menghempas pantai menghapus jejak imaji dalam ingatan, sekarang menjadi kenyataan.

Rasa puas terhampar di muka mereka, senyum beriringan dengan kesunyian. Silau kamera memotret perjalanan kami. Pesona pantai yang begitu sederhana, pengunjung berseliweran menikmati keindahannya. Pasirnya yang hitam terasa bersih, bebas dari sampah-sampah plastik, jauh berbeda pantai di negeri ku. Pantai Parangteritis sangat terawat, wahana permainan yang unik-unik ada di pantai tersebut seperti andong, motor cross, selancar dan kuda tunggangan. Semua itu tak pernah kudapatkan di pantai-pantai yang lain. Mungkin aku saja yang terlalu melebih-lebihkan denganmembanding pantai yang pernah ke kunjungi.

Entahlah, itu kenyataan yang ku rasakan. Hari itu, Christy menikmati sekali keindahan pantai itu, tapi senyap selalu berpendar di antara kami, komunikasi hanya terjalin sesekali bersama Nadia. Dirinya begitu cuek, sejenak aku menjauh dari dirinya mungkin dia merasa risi, hadir ku di sekitarnya. “Sudahlah"kataku dalam hati. Hari sudah mulai malam, hujan berangsur-angsur lebat, kami menepi menuju tempat parkir.

Kabar tak sedap berkelabat di telinga ku, Sabik membisikkan kabar duka dari negeri Ujung. Kabar yang mengingatkan ku pada perseteruan yang terjadi di Negeri Ujung antara Bangsa Nagari dan Bangsa Tana Kongkong. Kebetulan Nadia berasal dari Bangsa Nagari dan sesepunya adalah para panglima perang di Bangsa Nagari. Dalam keluarga Nadia masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budayanya. Hal itu patut dihargai. Mungkin, dasar ini Nadia bersikap dingin kepada ku. Kebetulan juga, aku berasal dari Negeri Tana Kongkong. Aku bukanlah putra Mahkota dari Tana Kongkong, aku hanya rakyat biasa yang tak tahu tentang adat, budaya tanah leluhurku. Harus Ku akui, aku terlahir dari kalangan tak berpendidikan. Aku adalah anak rakyat biasa yang didik dengan budaya sipakatau, sipatokkong dan sipakainga.

Tapi, apa dikata, aku menjadi korban keberingasan perseteruan tersebut. Aku di tebas oleh pasukan Bangsa Nagari di atas motor, tangan dan pundak ku terluka akibat hempasan Pedang pasukan dari Bangsa Nagari. Dari peristiwa itu, perang berkecamuk di mana-mana. Namun, aku tak pernah menuntut balas dari peristiwa tersebut, justru aku mengingatkan kepada sahabat dan kerabat tak perlu menabuh genderang perang yang akan menambah keruh suasana. Sudah cukup orang yang tak bersalah menjadi korban. Bukankah aku tidak tahu persoalan? Bagaimana kalau korban kalian sama dengan aku? Bukankah Bara dendam terus berkobar? Biarkan luka ini menyampaikan pesan kedamaian untuk kalian. Sebab, menyelesaikan persoalan dengan kekerasan hanya melahirkan kekerasan.

Aku, sebagai korban tidak sedikit pun ingin menuntut balas akan peristiwa tersebut. Sikap permusuhan tak pernah ku tunjukkan kepada orang-orang Nagari….. toch yang merawat ku, setelah aku ditebas berasal dari Bangsa Nagari. Apalah arti pappasang Sipakatau, sipakainga, dan sipatokkong ketika dendam, kebencian dan permusuhan dibesar-besarkan.

Sungguh aku merasa prihatin ketika masih ada orang membibit benih-benih permusuhan itu. Bukankah kita menuntut pendidikan untuk belajar tentang kebijaksanaan, belum cukupkah perseteruan mengorbankan jiwa yang tak bersalah. Sekiranya, perang tak pernah menyisakan kemenangan. Perang selalu mengabadikan air mata dan darah, bagaimana bisa mengabadikan budaya yang seperti itu. Bisakah kita merendahkan dan melapangkan hati untuk menerima korban-korban yang jatuh. Menghidupkan kembali budaya Sipakatau, sipakainga, dan sipatokkong. Biarkanlah Di tanah Ngayo ini, aku ingin merasakan kedamaian, rasa persaudaraan dari beberapa negeri terutama di Bangsa Nagari. Bukankah, nenek moyang kami banyak dari Bangsa Nagari.

Kabar duka yang tersemat di telinga ku, menyayat hati. Sikap dingin terhadap ku mengundang seribu Tanya tentang mu. Biarlah! Sekiranya aku tak pernah menutup ruang persaudaraan walaupun sajak-sajak kebencian kamu hadirkan. Tapi, sikap yang ditunjukkan Nadia semoga tak mencerminkan itu. Sebab, segala sesuatunya ditanggung olehnya. Rasa persahabatan terus bersua. keakraban di antara kita mungkin belum terasa karena aku dan dia belum saling kenal. Ternyata Pantai Parangteritis menjadi saksi pesan luka dari Negeri Ujung.

Senin, pukul 05.56 WIB, menjelang Magrib, motor kami pacu kembali untuk pulang ke rumah masing-masing.

Pare, 06 Maret 2015

Dari Sampean Untuk Tirani (Satira)

oleh : Si Anjas

silahkan juga kunjungi blog saya: sampeanisme.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun