Di tengah gempuran arus digital dan informasi instan, menulis barangkali bukan pilihan utama generasi hari ini. Tapi di Sampang, secercah harapan itu menyala dari balik helai kertas dan ketikan di layar laptop sebuah gerakan sunyi yang sedang mencoba memberi suara pada budaya yang nyaris terlewat. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Sampang menginisiasi sebuah langkah penting berupa kegiatan Bimbingan Teknis Kepenulisan Berbasis Konten Budaya Lokal.
Bukan sekadar pelatihan teknis, kegiatan ini adalah bentuk ajakan untuk melihat Sampang dengan cara yang lebih intim melalui tulisan. Pesertanya beragam: dari pelajar, mahasiswa, guru, hingga pegiat literasi. Mereka datang dengan semangat yang sama ingin menulis, ingin bercerita, ingin mengenalkan Sampang dari sudut pandang warga sendiri.
Plt Kepala Dispusip Sampang, Asroni, mengatakan bahwa pihaknya ingin melahirkan penulis andal yang mampu menyuarakan kekayaan lokal. "Banyak kearifan lokal yang belum terdokumentasikan," ujarnya. Pernyataan ini bukan klise. Karena dalam setiap sudut Sampang dari aroma khas lorjuk di pasar tradisional, hingga kesunyian ritual budaya di desa-desa tersimpan narasi yang layak diangkat menjadi karya tulis.
Gerakan ini menjadi penting karena menulis bukan hanya soal estetika, tapi juga tentang identitas. Tulisan tentang makanan lokal, tradisi Madura, hingga sejarah kecil di kampung-kampung adalah bentuk nyata dari pelestarian. Bila tidak ditulis, bagaimana anak cucu nanti tahu bahwa kita pernah memiliki tradisi Nyadar, atau pernah menyantap kaldu kokot dalam hangatnya keluarga?
Yang lebih menggembirakan, Disperpusip Sampang tidak berhenti di pelatihan saja. Mereka menyediakan wadah untuk menampung hasil tulisan peserta. Nantinya, karya-karya ini akan dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, sebagai bagian dari dokumentasi resmi budaya lokal. Ini bukan hanya soal publikasi, tapi pengakuan bahwa narasi lokal punya nilai setara dalam panggung nasional.
Di sinilah kita melihat betapa literasi bisa berperan besar dalam pembangunan manusia. Tulisan-tulisan ini kelak akan menjadi referensi, bukan hanya bagi peneliti atau wisatawan, tapi juga bagi anak-anak Sampang sendiri yang ingin tahu siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan apa yang patut mereka banggakan.
Sampang bukan sekadar kota kecil di Madura. Ia adalah rumah bagi ribuan cerita yang belum sempat dituliskan. Maka, ketika pemerintah daerah mulai membuka ruang bagi warga untuk menulis, sesungguhnya mereka sedang membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan. Sebuah upaya sederhana, namun mendalam karena seperti kata pepatah: "Apa yang tidak ditulis, akan hilang."
Kini, mari kita menulis Sampang. Dengan kata, kita jaga cerita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI