Pada ngiseng tadi, saya baru dapat wangsit. Ya, entah wangsit itu berasal dari Jibril atapun malah Azazel. Saya tak tahu. Kira kira begini wangsitnya.
"Sekolah" itu hanya ladang untuk golek "sekul". Pada zaman orang tua kita, mbah-mbah kita, buyut-buyut kita, canggah-canggah, buat nyari "sekul" itu susah bgt. Saya masih teringat, cerita dari bapak saya, bahwa pada zamannya dulu makan telur tuh dah yang paling mewah. Itu zaman bapak. Entah zaman zaman sebelumnya.
Dari sini dapat kita tarik benang lurus. Mengapa beberapa orang tua (yang oleh sebagian kita mungkin dianggap orang tua yang berpendidikan) sangat memperhatikan pendidikan anaknya. Mereka ingin anaknya mudah dalam mencari "sekul", tidak seperti mereka dulu.
Disisi lain. Ada orang tua yang dianggap "ndeso". Tidak paham pendidikan, dll. Hanya karena anaknya tidak terlalu disekolahkan. Padahal, intinya antara kedua macam orang tua ini, sama. Sama sama bertujuan untuk "sekul" yang masuk dalam perut anaknya nanti.
Dari wangsit yang saya peroleh tadi, mengarah ke orang tua jenis pertama. Yang menjadikan sekolah untuk senjata bertahan hidup anaknya.
Manusia pada dasarnya, sejak zaman purba hingga "neo-purba", ya seperti binatang binatang lainnya. Mereka memiliki sifat dasar bertahan hidup. Sesuai dengan apa yg masuk di kepalanya. Sesuai apa yang mengancam hidupnya.
Ketika manusia terancam dengan bobroknya sekolah, dikritiknya sekolah. Pengen mbikin sekolah ina ini itulah.
Ketika manusia berharap pada sekolah untuk menjamin hidupnya. Digantungkanlah segala masa depan manusia pada sekolah.
Lantas, bagaimana dengan fenomena selebrasi kelulusan, yang macem macem itu ?
Menurut wangsit dari Azazel td, saya setuju. Lah kenapa ?
Mereka terkungkung dengan "sekolah". Mereka tertekan dengan tekanan sosial. Padahal yo podo, sekolah yo mung ujung2 e golek sekul. Mereka tidak bisa berdemo, untuk mbubarin sekolah. Mereka hanya bisa corat coret, sek bebas, narkoba, ngombe, dll.