Mohon tunggu...
Sosbud

Melangun “Meninggalkan Bukan Untuk Ditinggalkan” Dari Suku Anak Dalam

28 April 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:35 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Provinsi Jambi Layak nya pulau paling timur di papua sana yang bangga akan suku asamatnya, pulau kalimantan yang terkenal dengan suku dayaknya. Kota kecil ku ini juga memiliki suku yang terbilang asli kepemilikannya dan hak patennya milik Jambi sepenuhnya. Suku anak dalam atau suku kubu atau anak rimba beragam julukan dan istilah namun masih tetap menunjuk kepada suku asli yang di miliki oleh tanah "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah" provinsi Jambi ini.

Gambar 1.1 (a) Suku Asmat; (b) Suku Dayak; (c) Suku Anak Dalam

Ada tiga sebutan terhadap orang asli Jambi yang mengandung makna yang berbeda, yaitu : Pertama kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Kedua suku anak dalam, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Suku Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Ketiga orang rimba, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya. Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dekat dan bergantung pada alam. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Ya., suku anak dalam menganut aliran animisme. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Bagi suku anak dalam seluruh hutan yang ada di daerah Jambi adalah miliknya. Konsepsi dan anggapan tersebut telah ada sejak lama dan terus diturunkan kepada generasi bawahnya. Konsepsi ini sesuai dengan seloka mereka “hidupbakambing kijang, ba-ayam kuaw, ba-atap sikai, ba-dinding sikai,berdinding banir, berlantai lumut, berkelambu resam” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:41). Dimana artinya itu adalah semua yang ada di hutan merupakan tempat hidup dan mencari kehidupan. Berdasarkan hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun  2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba atau suku anak dalam atau kubu di TNBD (Taman Nasional Bukit Dua Belas) ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Menurut pengamatan pribadi saya sebagai orang yang lahir dan besar di Kabupaten Tebo. Biasanya masyarakat Tebo menyebutnya “Orang Kubu” bagi sebagian orang terkhusus anak kecil dan anak gadis takut akan orang kubu. Dengan gaya pakaian yang kumal, rambut acak-acak, aroma tubuh yang bau, dan membawa golok. Tidak memandang itu pria maupun wanita ditangan mereka pasti ada golok.  Secara psikologis sebagai masyarakat merasa terganggu akan kehadiran mereka karena merasa terancam kehidupannya. Ada suatu kebiasaan buruk dari orang kubu, mereka akan keluar dari hutan jika ada suatu perayaan seperti lebaran. Orang kubu akan datang dengan rombongannya datang ke rumah warga untuk meminta-minta. Sebenarnya masyarakat kasihan dan ingin memberi makanan. Namun pada kenyataannya adalah ketika kita udah memberi kepada satu orang kubu bukan berarti permasalahan itu selesai, melainkan mereka akan memaggil temannya yang lain untuk meminta ke tempat yang sama. Konon ceritanya apabila kita meludah di depan orang kubu karena merasa jijik atau bau, air ludah kita akan dijilad sama orang kubu dan kita akan ikut menjadi orang kubu. Secara pribadi saya juga takut sama orang kubu. Kehidupan orang kubu secara keseluruhan adalah seminomaden (berpindah-pindah). Makin tahun makin berubah orang kubu yang biasanya saya lihat jalan kaki tanpa beralas kini sudah mulai memiliki motor, mereka yang dulu tinggal beralaskan tanah dan gubuk sebagian sudah memiliki rumah. Mereka mendapat semuanya itu dari berburu di hutan. Di tempat saya sendiri babi yang di konsumsi didapat dari orang kubu. Orang kubu apabila dia menginginkan sesuatu mereka harus mendapatkannya. Seperti motor masyarakat yang dia sukai harus kita berikan kepada mereka dengan harga jual yang tinggi sekalipun mereka akan beli, kalau tidak kita berikan maka bersiaplah akan kehilangan barang tersebut.


Gambar 1.2 (a) Orang Kubu Mengendarai Motor; (b) Rumah Orang Kubu

Kehidupan suku anak dalam sama halnya dengan kehidupan manusia, ada sebuah kelahiran dan juga ada kematian. Kelahiran merupakan suka cita dan kematian merupakan duka yang mendalam. Bagi suku anak dalam kematian seorang dari suku anak dalam bukan hanya kesedihan bagi keluarganya saja melainkan bagi seluruh warga suku yang ada di sekitar mereka tinggal. Suku anak dalam yang berada di sekitar tempat tinggal orang yang meninggal akan pergi meninggalkan hutan tersebut berpindah ketempat lain yang biasa dikenal sebagai Melangun. Melangun merupakan suatu bentuk sistem (tatanan) sosial budaya masyarakat Suku Anak Dalam. Kata melangun berasal dari bahasa Melayu, yang hanya dijumpai dalam bahasa percakapan Suku Anak Dalam di Jambi. Kata melangun dapat dilihat dari 2 pengertian, yakni dalam arti terbatas (sempit) dan dalam arti luas (umum). Dalam arti terbatas, kata melangun berarti hidup mengembara (nomad) di dalam hutan. Faktor pertama penyebab mereka melakukan pengembaraan di dalam hutan karena adanya kepercayaan bahwa kematian itu disebabkan oleh gangguan roh jahat dan roh jahat itu harus dijauhi karena dapat mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup. Faktor kedua ialah lokasi di mana kematian itu terjadi dipandang sebagai tempat sial atau tempat celaka. Oleh karenanya maka manusia yang masih hidup perlu menjauhi tempat celaka itu secepat mungkin. Dalam arti luas menurut , kata melangun mengandung banyak makna antara lain adalah sebagai berikut: 1.Melangun adalah perwujudan rasa cinta (sayang) sayang terhadap si mati. -Semakin cinta dan sayang terhadap si mati maka rasa sedih (ibo-hati) semakin tinggi, sehingga semakin lama pula rasa menderita. -Semakin cinta kepada seseorang maka kegiatan melangun semakin lama. -Semakin lama waktu melangun maka semakin jauh jarak wilayah (jelajah) melangun. 2.Melangun adalah upaya mengatasi rasa menderita (penderitaan) karena ditinggal mati anggota keluarga. -Keluarga si mati selama kegiatan melangun akan menangis (mekhatop/beratap). 3.Melangun sebagai wujud penghormatan terhadap roh si mati. 4.Melangun sebagai wujud kesetiakawanan sosial. 5.Melangun sebagai satu sistem nilai budaya (Kultural value system). 6.Melangun sebagai perlambang prosesi perjalanan roh si mati. Berdasarkan berbagai literatur yang dibaca penulis, pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata laa illa hail, ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati. Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan. Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.

Gambar 1.3 Pondok Jenazah Suku Anak Dalam

Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami mereka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal. Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakkan, mereka menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati. Hal inilah yang dikatakan “Meninggalkan Bukan untuk Ditinggalkan” dari suku anak dalam Jambi. Kesetia kawanan, kesedihan, saling tolong menolong dalam kelompok ditanggung bersama. Meski secara psikologis mereka sedih kehilangan namun mereka masih memiliki harapan besar terhadap suatu kesembuhan. Referensi: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996) Salam Hangat dari Suku Anak Dalam Jambi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun