Sekalinya dilibatkan, ustad lulusan Universitas Al Azhar Mesir ini mampu menyodok ke peringkat empat. UAS mampu mengangkangi nama-nama lain yang telah lebih dulu wara-wiri masuk radar lembaga survei.Â
Sebut saja, mantan cawapres 2019, Sandiaga Uno; Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil; Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Ketua DPR RI, Puan Maharani.Â
Bila nama UAS senantiasa dilibatkan dalam jejak pendapat, bukan mustahil elektabilitas dirinya akan terus merangkak naik dari waktu ke waktu dan mengancam elektabilitas yang ada di atasnya. Kemungkinan ini tentunya cukup terbuka lebar. UAS mempunyai panggung khusus. Yakni aktivitas dakwah dari satu daerah ke daerah lainnya.Â
Dengan aktivitas dakwah ini pula dia akan dengan leluasa meraih simpati masyarakat. Terutama para jemaahnya.Â
Dalam blantika politik nasional nama UAS memang bukan nama baru. Sebelumnya pada Pilpres 2019, pria kelahiran Siro Lama, Tarakan, Sumatera Utara, 18 Mei 1977 ini sempat direkomendasikan oleh para ulama tanah air sebagai salah seorang cawapres pada Pilpres 2019.Â
Saya masih ingat, rekomendasi ulama terhadap UAS ini untuk menjadi cawapres Prabowo Subianto. Hal ini demi mengimbangi tingginya popularitas dan elektabilitas Jokowi. Namun, UAS menolak. Dalihnya ingin bersikap netral. Tidak ingin memihak salah satu kubu.Â
UAS pun mengaku tidak memiliki bakat menjadi politisi. Dia hanya ingin fokus melaksanakan aktivitasnya sebagai juru dakwah.Â
Bagaimana dengan Pilpres 2024 mendatang. Apakah sikap UAS masih tetap sama? Menarik kita tunggu.Â
Namun, saya rasa lebih baik UAS tidak tergiur dengan iming-iming jabatan politik. Karena hanya akan merusak reputasi dirinya sebagai salah satu tokoh besar agama Islam.Â
UAS mestinya berkaca pada nasib Almarhum KH. Zainudin MZ. Semasa hidupnya, beliau sangat banyak jemaahnya, makanya dijuluki Kyai sejuta umat. Namun, reputasinya langsung amblas saat tergoda oleh bingarnya politik.
Salam