PERJALANAN sejarah Indonesia setidaknya dua kali terjadi suksesi kepemimpinan yang diwarnai dengan kericuhan besar, sehingga mengancam kondusifitas keamanan pemerintahan dan negara. Pertama, saat masa-masa peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba), dan kedua pemindahan kekuasaan dari Orba ke era reformasi.
Seperti sudah kita pahami bersama, penguasa Orla adalah Presiden Sukarno. Beliau pendiri bangsa ini dan beliau pula yang membuat pondasi dasar-dasar negara Indonesia. Namun, semua jasa-jasa besar ini seperti tak berarti ketika bangsa dihadapkan pada situasi pelik.Â
Diawali dengan terjadinya peristiwa G30S 1965 yang menimbulkan korban jiwa enam orang jendral dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat. Kemudian kekeuhnya Presiden Sukarno tidak ingin membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang pembunuhan, membuat kepercayaan publik goyah.Â
Situasi ini diperparah dengan situasi ekonomi bangsa morat-marit, karena konon kabarnya Presiden Soekarno lebih mementingkan angraran buat membeli senjata dan membiayai angkatan perang sebagai akibat berkonfrontasi dengan negara tetangga, Malaysia.Â
Segala situasi rumit inilah yang akhirnya memantik kemarahan pemuda dan mahasiswa. Puncaknya pada bulan Januari tahun 1966 mereka melakukan aksi protes besar-besaran. Ada tiga tuntutan yang diajukan dalam aksi demonstrasi itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura).Â
Isi lengkap dari ketiga tuntutan dimaksud adalah : (1) Bubarkan PKI; (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan Harga.Â
Tiga tuntutan yang merepresentasikan kondisi kebatinan publik dan wujud pernyataan sikap atas distrust terhadap kinerja pemerintah ini tak lantas mendapat respon positif. Akibatnya aksi demonstran kian melebar dan kembali terjadi pada bulan Februari.
Kali ini tuntutannya lebih parah. Mereka tak hanya bicara soal Tritura, melainkan melebar pada isu tuntutan lain yang lebih besar. Meminta Presiden Sukarno yang sebelumnya telah didaulat sebagai presiden seumur hidup untuk turun dari jabatannya.
Situasi ini menjadikan posisi Presiden Sukarno dalam tekanan hebat, dan situasi keamanan makin tak terkendali. Ditunjuklah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Letnan Jendral (Letjend) Soeharto untuk mengendalikan semua itu. Maka, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).Â
Siapa sangka, Supersemar ini akhirnya menjadi "senjata" Soeharto menuju suksesi kepemimpinan dan awal runtuhnya rezim Sukarno. Tak sedikit catatan sejarah yang mengatakan surat perintah dimaksud dimanfaatkan Soeharto untuk merebut kekuasaan hingga akhirnya menjadi penguasa Orba hingga hampir 32 tahun lamanya.Â
Wiranto Menerima Surat Perintah SerupaÂ