Menurut Partini, dirinya ditangkap karena dituduh membunuh para jendral. Bersama perempuan-perempuan lain yang ikut ditahan dengannya, Partini mengaku sering mendapatkan perlakuan tak senonoh, seperti dipukul hingga dilecehkan dengan tidak patut secara bergiliran.Â
Padahal, saat itu dia dalam kondisi baru saja melahirkan, sehingga tentunya masih mengalami pendarahan. Namun, para tentara itu sekakan tak peduli. Mereka malah asyik menidurinya secara bergiliran setiap malam.Â
Senada dengan Partini, Rusminah yang merupakan isteri seorang PKI mendapat perlakuan serupa. Hampir setiap malam dirinya diperintahkan menuju pos penjagaan untuk memuaskan hasrat seksual penjaga. Saking banyaknya penjaga yang harus dia layani, Rusminah sampai tidak mampu lagi mengenali wajah-wajah mereka.Â
Pengakuan kedua perempuan tersebut di atas dipertegas oleh keterangan peneliti Queensland University yang khusus mendalami kejahatan masal berbasis gender pasca tragedi 1965, khususnya kejahatan terhadap perempuan, Ann Pullman.Â
Dikatakan Ann, dari hasil wawancaranya dengan 150 eks tahanan politik (Tapol) perempuan (Gerwani dan isteri PKI) di berbagai daerah, rata-rata mengaku selama dalam tahanan mereka digunduli. Tak hanya itu, menurut Ann, saat diinterogasi, para tapol juga harus menanggalkan seluruh pakaiannya dengan dalih mencari lambang palu arit yang disembunyikan. Bejatnya, introgator itu mencarinya di sekitar kemaluan si tapol.Â
Bentuk kejahatan lain, ada interogator yang melakukan kekerasan fisik berupa penyiksaan bahkan mutilasi. Banyak pula interogator yang meminta paksa aborsi kepada perempuan istri tapol yang ditidurinya dan kemudian hamil.Â
Menilik dari cerita yang dialami oleh kader-kader PKI dan Gerwani di atas, memang tak bisa dipungkiri merupakan peristiwa yang tidak kalah tragis dengan peristiwa G30S. Sejatinya sebagai seorang abdi negara yang ditugaskan untuk memberangus PKI hingga ke akar-akarnya berlaku profesional.Â
Jangan justru mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang tak ada bedanya dengan pelaku pembunuhan terhadap para jendral dan satu perwira pertama.Â
Setelah lebih dari lima dekade sejak peristiwa pembunuhan massal terhadap para anggota dan simpatisan PKI serta pelecehan terhadap para anggota Gerwani, telah cukup banyak pihak yang ingin mengangkat kembali kasus ini ke permukaan. Sebab, tak sedikit pihak yang menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.Â
Kendati demikian, hingga saat ini rupanya desakan untuk kembali membuka kasus tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Akibatnya, dari tahun ke tahun peristiwa G30S dan setelahnya terus saja menjadi tabir gelap.