DALAM dunia oleh raga, khususnya sepakbola, kita mengenal istilah The Rising Star, yaitu seorang pemain anyar, muda, tapi memiliki potensi dan telah mampu menunjukan penampilan luar biasa.
Di Indonesia sendiri, ada salah seorang rising star atas diri Egy Maulana Vikri. Pemain kelahiran Medan, Sumatera Utara ini sempat mengejutkan dunia, saat dirinya mampu menampilkan ciamik bersama timnas garuda muda U-19 di turnamen Toulon 2017, Prancis.
Berkat skill dan permainan olah bolanya yang di atas rata-rata pemain seumurannya, dan dianggap sebagai pemain paling berpengaruh di dalam tim, Egy diganjar dengan penghargaan Jouer Revelation Trophee. Hebatnya, raihan ini menjadikan Egy sejajar dengan Zinadine Zidane dan Cristiano Ronaldo, yang juga sama-sama pernah mendapatkan penghargaan serupa.
Wajar, harapan besar dunia sepak bola tanah air menaruh harapan besar terhadap pemain ini, untuk bisa membawa timnas sepak bola nasional berjaya dalam berbagai ajang kompetisi.
Sayang, harapan itu setidaknya hingga saat ini belum mampu terwujud. Egy masih belum mampu mempersembahkan satu gelar pun bagi timnas garuda.
Egy "The Rising Star" yang digadang-gadang mampu membawa kejayaan bagi timnas sepakbola nasional, nyatanya hampir sama saja dengan pemain-pemain lain, yang juga sempat disebut-sebut sebagai pemain harapan masa depan sepak bola tanah air. Sebut saja Oktavianus Maniani, Syamsir Alam dan Alan Marta. Mereka tenggelam sebelum waktunya.
Meski, khusus untuk Egy, mungkin belum benar-benar tenggelam. Dia yang kini bermain untuk klub Polandia, Lechia Gdansk, masih memiliki kesempatan untuk kembali menunjukan permainan apiknya, seperti yang pernah diperlihatkannya pada beberapa tahun lalu, bersama timnas garuda muda.
Itulah sang Rising Star dalam dunia sepak bola tanah air. Dalam dunia politik pun, negara yang disebut sebagai Negeri Katulistiwa ini juga pernah memiliki Rising Star.
Rising Star dimaksud adalah partai politik (Parpol) yang belum lama berdiri, tapi tiba-tiba saja melejit dan berhasil menduduki tahta tertinggi pada pemilu legeslatif tahun 2009. Partai dimaksud adalah Partai Demokrat.
Betapa tidak, partai berlambang mercy ini baru berdiri pada 9 September 2001. Itu artinya, hanya dalam kurun waktu delapan tahun, partai yang didirikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mampu mengangkangi partai-partai lain yang telah lebih dulu lahir dan jauh lebih berpengalaman. Misalnya, Golkar, PDIP dan PPP.
Pada tahun 2009, Partai Demokrat mampu keluar sebagai pemenang pemilu dengan raihan suara sebanyak 21 juta lebih dari total suara sah yang masuk, atau sekitar 20,4 persen. Hasil ini sukses mengantarkan wakil-wakilnya menguasai kursi parlemen, Senayan.
Bahkan, tak hanya sukses di pemilu legeslatif. Partai Demokrat juga mampu memenangkan sang ketua umumnya, SBY menduduki kursi presiden untuk kedua kalinya.
Kala itu, sejumlah kalangan menilai bahwa partai ini akan mampu mematahkan dominasi partai-partai lain dengan kultur yang sudah mengakar, seperti ketiga partai yang disebutkan tadi di atas, dalam pemilu-pemilu berikutnya.
Akan tetapi, seperti halnya Egy Maulana Vikri, Okto Maniani dalam dunia sepak bola, Partai Demokrat nyatanya tidak mampu mempertahankan performa apiknya tersebut.
Pada pemilu tahun 2014, Partai Demokrat terjun bebas menjadi peringkat ke-7 dengan raihan 10,19 persen suara. Parahnya, lima tahun kemudian atau pada pemilu 2019, meski masih tetap menduduki peringkat ke-7, tetapi perolehan suaranya kembali turun menjadi 7,77 persen.
Rontoknya partai Demokrat dipercaya oleh banyak pihak, karena dua hal.
Pertama, SBY tidak lagi menjabat Presiden RI.
Sewaktu menjabat Presiden RI selama dua periode berturut-turut, yakni pada masa jabatan 2004 - 2009 dan 2009 - 2014, pengaruh SBY memang sangat luar biasa. Sosoknya yang begitu kuat di partai dan ditambah lagi dengan memiliki kekuasaan sebagai presiden, mampu "menghipnotis" masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya pada Partai Demokrat.
Namun, saat SBY tak lagi menjabat presiden, Partai Demokrat perlahan namun pasti mulai oleng. Kekuatan yang asalnya mengakar hingga ke seantero negeri mulai kembali melemah.
Kedua, banyak kader partai yang korup
Sudah bukan menjadi rahasia umum, di saat kepemimpinan Presiden SBY di periode keduanya, para elite partai seolah berlomba-lomba memanfaatkan kekuasaan ketua umumnya. Mereka terlibat dalam berbagai macam mega proyek di tanah air, sehingga akhirnya terjebak dalam kasus-kasus korupsi.
Kader Demokrat yang paling fenomenal dengan kasus korupsinya, siapa lagi kalau bukan Muhamad Nazarudin. Selain itu masih ada sederet nama yang juga terjebak pada kasus serupa. Sebut saja, Anas Urbaningrum, Jero Wacik, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, Sutan Bathoegana, dan yang lainnya.
Kasus-kasus yang banyak melibatkan kader partai ini pula, akhirnya membuat masyarakat muak dan hilang kepercayaannya. Dan, akhirnya ditinggalkan. Hasilnya, perolehan suara Partai Demokrat di pemilu legeslatif terus merosot.
AHY Optimis Demokrat Bangkit
Kini, Partai Demokrat telah dipimpin oleh seorang ketua umum yang baru, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di bawah kepemimpinannya, partai yang diibaratkan kapal yang sudah hampir karam ini berharap bisa diselamatkan.
Tentu saja, bukan pekerjaan mudah bagi AHY untuk bisa menyelamatkan kapal yang sudah banyak bolong di sana-sini. Dibutuhkan keuletan, ketegasan dan jiwa kepemimpinan yang kuat, jika memang Partai Demokrat ingin kembali berkibar seperti masa-masa jayanya dulu.
Sejak didaulat sebagai ketua umum, AHY memang seperti tidak pernah diam untuk busa kembali membesarkan partainya.Â
Dia banyak bergerak dengan melakukan konsolidasi sana-sini, pertemuan dengan para petinggi partai lain, melakukan koalisi partai di beberapa daerah dalam rangka Pilkada serentak, dan terakhir adalah bersilaturahmi dengan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (06/08/2020).
Dalam kesempatan tersebut, AHY memberikan suntikan motivasi dengan cara mengingatkan kembali pada seluruh kadernya yang duduk di kursi parlemen, bahwa partainya pernah menguasai mayoritas jumlah kursi DPR RI.
"Bukan isapan jempol, bukan hanya angan-angan tanpa dasar karena kita pernah sukses, karena kita pernah memiliki 148 anggota DPR RI pada 2009 yang lalu," kata AHY. Dikutip dari Sindonews.com
AHY mengatakan, dalam silaturahmi tersebut dirinya sempat mengunjungi lantai 5 Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen yang merupakan ruang kerja anggota Fraksi Demokrat DPR RI.
Menurut dia, masih dikutip dari Sindonews.com, di Lantai 5 tersebut terdapat 54 anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI, dan diharapkan dalam lima tahun ke depan jumlah anggota fraksinya bisa bertambah.
"Namun saya menyampaikan kendati ruangan yang ada di lantai itu cukup untuk 54 orang hari ini, tapi saya harap menjadi sangat tidak cukup untuk 2024," ujarnya.
AHY mengaku optimistis partainya dapat menambah jumlah anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI pada 2024 namun tidak memerinci targetnya.
Untuk itu, dia mengajak seluruh elemen Partai Demokrat untuk berjuang lebih keras guna menambah jumlah suara partai tersebut pada Pemilu 2024.
"Artinya kita optimis dan berikhtiar berjuang sekeras tenaga untuk menambah jumlah suara nasional dan menambah jumlah kursi DPR RI sehingga memenuhi ruangan itu sampai tidak cukup sama sekali," katanya.
Apakah, kepemimpinan AHY akan mampu mendongkrak kejayaan Partai Demokrat atau malah makin terpuruk? Menarik kita tunggu pada pemilu legeslatif berikutnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H