UNTUK menjadikan kondisi bangsa dan negara selalu on the track atau tidak menyimpang dari amanah kostitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 45, dibutuhkan pihak-pihak yang mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintahan.
Sesuai dengan konstitusi, di negara Indonesia sudah terdapat institusi khusus yang bertindak sebagai lembaga kontrol tersebut. Yaitu, Dewan Perwakilam Rakyat. Baik itu di tingkat pusat (DPR RI) atau tingkat daerah provinsi maupun kabupaten/kota (DPRD).
Hanya saja, institusi yang kerap disebut kumpulan wakil rakyat ini tidak atau belum mampu bekerja maksimal dan memanfaatkan kewenangannya dengan optimal. Mereka justru sering terjebak pada permainan kotor.
Institusi yang sejatinya menjadi lembaga kontrol pihak eksekutif atau pemerintah, justru malah bertindak sebaliknya. Kinerja merekalah yang patut diawasi. Pasalnya, sudah banyak bukti kasus yang menyeret para anggota wakil rakyat ini pada praktik-praktik melanggar aturan hukum. Sebut saja, korupsi, gratifikasi, nepotisme atau kolusi.
Dengan kata lain, lembaga kontrol kinerja pemerintah tersebut boleh dibilang tidak lagi bisa diharapkan mampu bekerja sesuai dengan marwah yang dimilikinya. Alih-alih mengawasi kinerja pemerintah, yang ada malah kerap kali ikut "bermain mata" dengan lembaga eksekutif dimaksud.
Dengan kondisi ini, maka tidak bisa dielakan lagi, kita butuh pihak-pihak atau lembaga independen lain, yang memiliki kredibelitas sebagai juru kontrol kinerja pemerintah, agar jangan sampai kebablasan.
Di Indonesia sendiri telah cukup banyak pihak atau lembaga independen yang konsen mengkritisi dan mengawasi kinerja pemerintah dimaksud. Sebut saja, dari pihak perorangan, muncul nama-nama seperti Rocky Gerung, Refly Harun, Sri Bintang Pamungkas, Muhamad Said Didu, Din Syamsudin, dan sederet nama lainnya.
Sementara, untuk pihak-pihak lembaga independen, diantaranya ada Indonesian Coruption Watch (ICW), yang lebih konsen mengontrol dan mengkritisi kebijakan pemerintah tentang kebijakan keuangan negara atau lebih detilnya dalam hal korupsi. Kontras, yang fokus pada prilaku ketidak adilan yang bersinggungan dengan orang hilang atau korban tindak kekerasan, dan masih banyak lagi.
Eksisitensi pihak-pihak tersebut di atas jika diaktualisasikan dalam bentuk kritik konstruktif, sepertinya akan menjadi hal menguntungkan bagi bangsa dan negara. Pasalnya, selain bisa mengerem kebijakan pemerintah yang sekiranya menyimpang. Kritik tersebut biasanya disertai solusi cerdas.
Hanya saja, yang kerap terjadi belakangan ini, wujud kritikan yang dilontarkan pihak-pihak yang menyebut dirinya pengamat, akademisi atau ahli atau bahkan lembaga independen itu cenderung destruktif, bahkan tak jarang menjurus sarkasme.
Dalam hal ini, kritikan yang dibangun bukannya membawa kebaikan, tetapi malah sebaliknya. Kerap, kritikan tersebut malah memantik kegaduhan. Boro-boro memberi solusi, yang ada malah caci maki dan nyinyir. Tentu saja, yang diinginkan bangsa dan negara termasuk warga masyarakat bukanlah kritik seperti itu, bukan?