BUKAN satu atau dua orang, yang mengatakan bahwa praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah begitu menggurita di republik ini. Bahkan, tak sedikit pula yang menyebut, prilaku KKN ini sudah seperti menjadi "budaya bangsa". Miris, bukan?
Berita korupsi tiada henti menghiasi layar kaca atau media-media maistream lainnya. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap para pelaku korupsi dan sejenisnya tidak sedikitpun menyurutkan orang untuk melakukan korupsi.Â
Bukan omong kosong, sampai saat ini kasus korupsi tidak berkurang jumlahnya, tetapi hampir sama banyaknya dengan zaman orde baru (orba) alias sebelum era reformasi.
KKN di negeri ini seperti tak pernah mengenal kata ujung, tak ubahnya lirik lagu 'gugur satu tumbuh seribu'. Padahal, lembaga antirasuah kerap menangkap para pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi, koruptor selalu tumbuh tidak mengenal ruang dan waktu, terus berevolusi, beregenerasi dan bermetamorfosis seiring kemajuan peradaban.
Namun, setujukah jika KKN dianggap budaya bangsa? Saya pribadi, jelas tidak setuju. Pasalnya, budaya sepengetahuan saya adalah prilaku yang cenderung positif dan berakal budi.
Jelas, KKN sangat bertolak belakang dengan prilaku positif dan berakal budi. Jadi, kata apa yang pantas dengan mengguritanya prilaku KKN di tanah air? Silahkan, tergantung anda masing-masing untuk memilih kata yang tepat.
Bagi saya, menjamurnya KKN di tanah air tak lebih karena mental pelaku atau pejabat publik yang rapuh, gampang tergiur harta dan tahta serta lemahnya sistem peradilan (hukum) yang diterapkan.
Bicara tentang rapuhnya mental penyelenggara negara. Baru-baru ini kembali terbukti, dengan heboh pemberitaan tentang munculnya buronan kelas kakap, Djoko Tjandra, di tanah air.
Djoko Tjandra adalah seorang buronan yang sudah belasan tahun menghilang atas tuduhan kasus pengalihan hak tagih (Cessie) Bank Bali. Atas prilaku korupnya itu, negara dirugikan hingga Rp. 904 milyar.
Sontak, dengan wara-wirinya Djoko Tjandra di tanah air menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Bagaimana bisa, seorang buronan kelas kakap atau mungkin sudah level paus ini bisa dengan santuy-nya berkunjung ke negara yang telah menjadikan dirinya DPO (Daftar Pencarian Orang) sejak belasan tahun lalu.
Mungkinkah pria kelahiran 27 Agustus 1951 ini menyamar, layaknya Ethan Hunt, seorang agen rahasia seperti dalam film Mission Imposible?