kecapi tua itu masih teronggok di sudut kamarku. kecapi yang tatkala dulu sering aku dengar melantunkan nada-nada merdu 7 oktaf. lengkinganya mendayu-dayu memadukan lagu-lagu harapan. harapan akan sebuah negri di awan yang penuh dengan kedamaian. tergambar dalam benakku bahwa negri itu hanya akan bisa di jangkau orang-orang pemetik dawai kecapi yang dengan semangatnya selalu mengobarkan arti perjuangan hidup.
Aku baru sadar bahwa sang pemetik dawai kecapi sekarang tak sekuat dulu. tangan-tangan lentiknya nampak keriput dan tak selincah dulu kala. jarang sekali aku dengarkan alunan merdunya tentang lagu-lagu rindu penggugah kalbu, bahkan hampir tidak pernah. sekalipun terdengar mengalun nada-nada yang keluar adalah tentang kejenuhan dan kebosanan belaka. semangat yang dulu menyala telah mengerdil seiring dawai yang termakan congkaknya jaman ini. tak seorangpun mampu menggantikan peran sang pemetik kecapi, tidak juga aku. dia berpesan "jangan mainkan kecapi ini sesuka hatimu karena hanya akan melantunkan nada-nada sumbang bahkan petikanmu bisa melukai jemarimu". aku lebih percaya ucapanya meski kadang aku juga rindu akan lantunan merdu dawai kecapi itu.
iya, tidak lain pemetik kecapi itu adalah ayahandaku tercinta, beliau yang sering tergolek lemas di pembaringanya. semoga segera bisa kembali memetik dawai-dawai itu dan melantunkan lagu-lagu merdu. lagu tentang harapan, tentang impian dan tentang gambaran masa depan yang selama ini mampu membakar semangatku untuk selalu kuat dalam berjuang. semoga lekas sembuh ayahanda tercinta..
salam dan doa-doa selalu kami haturkan, dari perindu lantunan merdu kecapi tua itu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H