Mohon tunggu...
Sam Tantular
Sam Tantular Mohon Tunggu... -

titi dan koffie

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Perempuan

12 Maret 2014   01:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Entah kenapa, jaman menjadi semakin ganas dan terlampau cengeng, gampang mabuk dan layu layaknya sayuran yang kata ibuk saya jadi semakin gampang busuk dan gampang cepat matang. Jika ini mengenai kawan-kawan perempuan saya, tapi rasanya saya bisa memahami, maklum saya sudah dua puluh tahun lebih menjadi perempuan asli. Jadi begini, kaum saya, perempuan-perempuan macam kami selalu merassa tidak puas dengan kehidupan. Mersa perlu memberontak, selalu merasa perlu berteriak ke kuping setiap orang, bahkan ke corong pabrik dan corong minyak kelapa.

"Kami mau dianggap manusia! SETARA!"

Aduh, modyar! Saya tidak tahu sebenarnya bagaimana harus menata letak duduk saya dan pikiran saya. Berusaha secara mandiri berfikir, menggerakkan setiap sel otak dan menyambungkan jalinannya. Ini rumit sekaligus menggelikan.

"Mbok uwis, toh yo… mbok uwis… ", batin saya sebenarnya. Lantas kembali muncul beragam gambar, "TIDAK BISA! Bukankah sudah separah ini luka lebam kita", sisi keperempuanan saya kembali bangkit menggugat.

Saya lepaskan pelan-pelan segala jumawa pikiran ideal saya dalam menatap dunia. Sembari membantu menurunkan rok yang telah diangkat tinggi-tinggi oleh kawan-kawan perempuan saya sebagai aksi protes terhadap penindasan dan pelecehan massal terhadap kami oleh berbagai budaya dan masyarakat. Menurunkan poster-poster iklan cara menggunakan kondom dengan benar. Mematikan pengeras suara soal pemahaman “kuasa terhadap tubuh perempuan” yang sedang teman kami coba diktekan kepada kami di silang Monas.  Juga menyeka peluh dan membantu mengibaskan jilbab dari debu yang mengotori kemurnian hati kami yang paling bening. Tentang penegakan syariat, khilafah, kampanye penggunaan jilbab guna mencegah pelecehan seksual, tanpa memahami akar masalah dan kondisi sosial-budaya-antropoligi suatu wilayah.

Kita menjadi manusia biasa saja, bisa tidak? Saling sayang, saling hormat, saling cinta, saling mampu “merasa” satu sama lainnya.

Diperkosa berapa kali atau berapa abadpun, kita harus tetap hidup, lahir dan bergenerasi. Menyalakan pijar paling redup sekalipun dalam diri sendiri, jika tenaga kita terlalu dikuras untuk berteriak sementara para pria dan penguasa itu memang sudah kehilangan akal sehatnya…

Baiknya, pulang dan bawa lari dari kerumunan ruwet ini anak-anak kita jika diantara kita sudah menjadi ibu. Atau kelak anak turun kita, lahirkan dan lepas dia dalam pengembaraan sunyi dunia dengan tajam pikir kita yang paling inti. Mengajarkannya menjadi yang sejati. Tak ada jalan lain, bahkan Tuhan sendiri lewat Nabi terakhirnya telah menegaskan, telah diangkat kembali derajat perempuan —sekali lagi oleh Tuhan sendiri dari tangan kotor peradaban-binatang, dan itulah masa paling gemilang bagi kita. Untuk terus lahir bergenerasi, melalui tangan anak-anak kita kelak kemalangan perempuan akan dihapuskan.

Bersabarlah, jika orang lain TAK MAU lakukan untuk kita, kita lakukan oleh diri kita sendiri. Jika pak ustad tajam mengkritik perempuan hanya boleh sholat di masjid, laki-laki saja yang memakmurkannya, tapi abai jika kita pergi ke bioskop atau pasar. Jika pak haji hanya sanggup menceramahi kita tentang siapa yang pantas jadi pemimpin diantara dua makhluk perempuan dan laki-laki ini. Jika penggerak/aktivis perempuan sibuk menuntut adanya kuota di pemerintahan untuk perempuan ( padahal secara logika ini justeru meyakinkan bahwa kedudukan perempuan begitu suramnya sehingga perlu dibuat mekanisme “sok” setara padahal secara logika, ini bisa jadi bahan ejekan seksis semata )

Dan… Jika diantara kita menjadi pendidik di tempat belajar tertentu, anak-anak inilah yang kelak akan menumbangkan kesombongan peradaban sumbang ini. Seperti Musa kepada Fir’aun, bahkan kerusakan Jengis Khan pun kembali dibayar tuntas oleh anak-cucunya sendiri dengan membangun remah reruntuhan yang dihasilkannya berganti dengan dinasti gemilang.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun