"Gini loh ma, apa gak sebaiknya Verell itu di homeschooling saja," kata Veronique
Tak sampai di situ saja, Veronique kemudian mengambil tabletnya menunjukkan kepada Jeanny (Ibu Verell) homeschooling dan sekolah berkebutuhan khusus yang cocok untuk Verell.
"Ini loh ma dikirim ke sini saja," kata Veronique memberi saran.
Kisah di atas terjadi di salah satu sekolah dasar (SD) di kota Malang pada akhir 2018 lalu. Percakapan tersebut melibatkan kepala sekolah, Veronique dan orang tua siswa penyandang autisme ringan.
Singkat cerita, Verell (12) akhirnya "dikeluarkan" dari sekolah tersebut karena autismenya dan harus pindah ke sekolah lain. Ancaman yang diberikan sekolah, bila Verell tak kunjung hengkang dari sekolah maka ia tidak akan naik ke kelas 6.
(Baca laporan indepth Suara Indonesia)
Diskriminasi Pendidikan
Verell bukanlah satu-satunya anak yang mendapatkan perlakuan diskriminasi di sekolah. Cerita serupa juga dialami oleh Gevin, yang telah mengalami autisme sejak masih bayi.
Disadur dari CNN, orang tua Gevin, Lusiana Handoko mengaku selalu kesulitan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya. Dirinya selalu terjegal dengan institusi pendidikan yang ada.
Alhasil, ia harus 'nomaden' dalam memasukkan Gevin dari satu sekolah baru ke sekolah baru lainnya, demi pendidikan sang anak. Menurutnya, sekolah-sekolah di Indonesia sendiri enggan menerima murid penyandang autisme.
Musababnya pun tak pasti. Apakah karena takut akan akreditasi sekolah merosot atau karena tidak tersedianya tenaga pengajar autisme, hanya sekolah yang tahu alasannya.