Bahkan dalam laporan infografis yang dikeluarkan tirto pada April 2017 lalu menyebutkan, 17% anak penyandang autisme sering diskros dari sekolah. Parahnya lagi 48% dari anak yang diskors tersebut mengalami skors sebanyak 3 kali. Sementara untuk jumlah siswa penyandang autisme yang dikeluarkan dari sekolah sebanyak 4%.
Autisme dan Resolusi PBB 62
Pada dasarnya masalah autisme ini menjadi problem yang tak pernah habis dibahas. Bahkan organisasi sebesar PBB sendiri pun turut andil dalam penanganan autisme.
Tahun 2007 lalu, organisasi yang beranggotakan 192 negara ini mengeluarkan Resolusi PBB No 62/139 tahun 2007 terkait autisme.
Inti dari resolusi tersebut adalah mengharuskan pemerintah, institusi dan publik di seluruh dunia merangkul dan menerima individu dengan autisme sepenuhnya.
Bahkan ditetapkannya 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Internasional sendiri, seyogyanya dijadikan momentum menyuarakan kepedulian bagi individu dengan autisme.
Pertanyaannya, apakah resolusi itu dilakukan oleh negara Indonesia? Biarkanlah rumput bergoyang yang menjawab!
Tak hanya itu, pada peringatan World Autism Awareness Day di Markas Besar PBB New York pada 2019 lalu, PBB memfokuskan peningkatan penggunaan teknologi bantu bagi individu dengan autisme sebagai sarana menghilangkan hambatan untuk partisipasi penuh mereka secara sosial, ekonomi politik, serta dalam mempromosikan kesetaraan, keadilan dan inklusi.
Waktu terus berganti, saya berharap fokus penanganan autisme bukan hanya pada penerimaan mereka pada lingkungan sosial melainkan pada institusi pendidikan.
Mengingat, hingga saat ini siswa penyandang autisme yang masuk di sekolah-sekolah umum selalu terbengkalai dengan dukungan pembelajaran dan pemberian akomodasi pembelajaran yang lebih kepada anak autis.
Saya teringat dengan pepatah lama, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Sekolah saja sudah menunjukan sikap diskriminasi terhadap anak penyandang autisme, apalagi murid-muridnya.