Mohon tunggu...
Mas Kumambang
Mas Kumambang Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati hukum dan politik Indonesia.

Adillah sejak dalam pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Catatan Hukum: Kita Butuh Penerang

7 Agustus 2019   08:50 Diperbarui: 7 Agustus 2019   12:04 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika PLN mematikan aliran listrik, kita gelagapan. Semua aktivitas terhenti. Lalu-lintas semrawut. Ada orang yang terjebak dalam lift gedung. 

Bahkan keluarga yang sedang bersenda-gurau bersama anak-anak menikmati kenyamanan MRT menjerit panik sebelum akhirnya berhasil dievakuasi dalam lorong gelap.

Peristiwa hari Minggu (4/8) lalu sangat merugikan kepentingan warga. Apapun alasannya, pemadaman massal di wilayah Jabodetabek, Jabar, dan sebagian Jateng merupakan tindakan yang tidak profesional, bahkan mencoreng muka pemerintah. Padahal BUMN ini memegang hak monopoli, ngurus listrik saja nggak beres.

Sesabar-sabarnya Jokowi, pria asal Solo ini bisa dan pantas marah. Mengapa orang-orang pintar di belakang PLN tak mampu menghitung dan mengantisipasi kemungkinan terburuk? Mengapa mereka tidak memiliki rencana kontinjensi dalam menghadapi krisis? Mengapa PLN terlalu lama mengatasi kerusakan? Untung saja Jokowi masih menyimpan kesabaran, tidak memecat direksi PLN, atau Menteri ESDM, atau Menteri BUMN.

KPK juga padamkan lampu

Di bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama kuatnya dengan PLN. Bahkan lebih kuat karena institusi ini bersifat independen. 

KPK bisa menangkap siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Sejak dibentuk, KPK hampir tak pernah kalah dalam memperkarakan tersangka korupsi, apalagi kalau mereka tertangkap basah menerima suap.

Maka reputasi KPK memang terus melambung. Dalam berbagai survei, KPK menjadi salah satu lembaga paling dipercaya publik. Misi KPK memang sejalan dengan harapan rakyat,  mengingat korupsi telah berpuluh tahun menjadi kanker ganas yang menggerogoti keuangan negara. 

Sejak rezim Demokrasi Terpimpin, semi otoriter, dan demokrasi liberal sekarang ternyata praktek korupsi tetap saja merajalela. Pantas bila rakyat menyanjung KPK, seolah sebagai juru selamat.

Namun bukan berarti KPK selalu menang menghadapi gugatan mereka yang dijadikan tersangka. Ketua KPK Agus Rahardjo pernah mengatakan bahwa dari 57 perkara praperadilan sejak tahun 2004, KPK kalah dalam empat kasus. 

Yaitu gugatan pra peradilan yang diajukan oleh mantan Kepala BPK Hadi Purnomo, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Komjen Pol Budi Gunawan, dan Mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Namun kekalahan telak KPK adalah ketika para hakim Mahkamah Agung membebaskan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). 

Ini bukan hanya tamparan, melainkan pukulan telak. Untuk pertama kalinya,  terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman bisa bebas. Putusan kasasi tersebut langsung berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena sesuai aturan jaksa tak bisa mengajukan Peninjauan Perkara (PK).

KPK memang mematuhi putusan lembaga peradilan tertinggi dengan membebaskan SAT dari tahanan. Sampai di sini "lampu keadilan" menyala terang karena MA berkuasa memberikan keputusan hukum yang adil bagi pencari keadilan. 

Namun lampu itu seolah padam lagi, ketika KPK kemudian justru mengejar orang yang disangka "bersama-sama" melakukan tindak pidana dengan SAT. Dalam hal ini pemilik BDNI sebagai obligor BLBI ditersangkakan oleh KPK, bahkan dinyatakan buron.

KPK membuat tafsir sendiri. Padahal para hakim agung telah menyatakan tidak ada unsur pidana yang dilakukan SAT ketika memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham BDNI pada 2004. Poin penting dalam putusan kasasi atas kasus SAT adalah; tidak ada tindak pidana, masalah tersebut bersifat perdata dan pemberian SKL bersifat administratif.

Maka, keputusan KPK mengejar dan menetapkan penerima SKL sebagai tersangka dan buron, seolah mematikan lampu harapan pencari keadilan. 

Apalagi kemudian ada pihak-pihak yang membonceng dan berupaya mencari-cari kesalahan para hakim agung yang memutus bebas SAT. 

"Adalah sikap yang tidak bisa dibenarkan jika ada pihak yang menyerang institusi peradilan kita yang terhormat, khususnya Mahkamah Agung, yang merupakan lembaga peradilan tertinggi di negeri ini, hanya karena mereka tidak suka atas suatu keputusan MA," ini reaksi advokat senior Mohammad Assegaf, beberapa waktu lalu.

Pak Jokowi, Nyalakan lampu

Seperti terhadap direksi PLN yang memadamkan listrik, Presiden Jokowi bisa menegur KPK. Jokowi bukan hanya kepala pemerintahan, melainkan juga Kepala Negara.

 Ia bukan hanya bertanggung jawab terhadap pemerintahannya, tapi juga segala denyut nadi persoalan di negeri ini. Jika Kepala Negara turun tangan, bukan berarti ia mencampuri independensi KPK. Namun hal itu menjadi bagian tanggungjawabnya agar tidak ada yang salah urus dan bergerak di luar sistem di negeri ini.

Mengapa? Kepala Negara harus mengingatkan bahwa penyelesaian masalah BLBI, termasuk pemberian SKL kepada obligor, adalah pilihan yang diambil waktu itu sebagai bagian upaya mengatasi krisis dan memulihkan perekonomian. Pemerintah terikat secara hukum, mengakui segala hak dan kewajiban obligor yang sudah menyelesaikannya. 

Masalah ini sudah final bagi mereka yang menandatangani perjanjian MSAA dan menerima SKL. Ada sejumlah obligor yang membandel, sampai sekarang tidak membayar utang, mereka itu yang seharusnya dikejar.

Pemerintah telah menyatakan penerima SKL itu sudah memenuhi kewajiban. Masalah mereka sudah selesai. Bila kini KPK menetapkan pemilik BDNI sebagai tersangka dan buron, itu keputusan yang melampaui batas.  Itu seperti ingin membatalkan keputusan dan kesepakatan pemerintah. Sebagai Kepala Negara, Jokowi harus mengingatkan dan meluruskannya.

Tentu tidak perlu marah seperti ketika mendengar penjelasan direksi PLN namun sebagai Kepala Negara, Jokowi harus mengingatkan, menegur dan memberikan arahan kepada KPK agar tidak menabrak aturan. Bila itu dilakukan, Jokowi diapresiasi karena "menyalakan kembali lampu keadilan" yang padam. (Mas Kumambang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun