Hari Minggu yang silam, tanggal 22 September 2013, adalah hari pemilu di Jerman. Agak berbeda dengan Indonesia, pemilu di sini tidak menghabiskan banyak biaya, semisal untuk membangun TPS atau untuk menggaji para pengawas. Surat suara dikirimkan ke alamat tiap warga dan warga tinggal 'nyoblos' di rumah. Seusai nyoblos, orang tinggal mencemplungkan surat beserta amplopnya ke kotak pos. Warga pun tak perlu pusing cari perangko karena amplopnya sudah 'berbayar'. Selesai. Praktis, ya?
Namun, bukan soal praktisnya yang ingin saya soroti di sini (meski itu pun bagus untuk dicoba tiru), tapi Angela Merkel. Kenapa? Soalnya dia adalah wanita pertama yang menjadi kepala pemerintahan alias kanselir di Jerman. Lebih dari itu, minggu ini dia resmi terpilih untuk ketiga kalinya, menjabat sebagai kanselir. Bagi saya, itu luar biasa!
Ini bukan main-main. Apalagi pada tahun 2008, tatkala Eropa dilanda krisis moneter (krismon), posisi kanselir pastilah tidak mudah. Luar biasa bila seorang wanita dapat berkiprah begitu rupa. Tiga kali berturut-turut dipercaya warga Jerman (yang super kritis itu) untuk memimpin jalannya negara federal ini, karena ia dinilai sukses memimpin Jerman dari keterpurukan ekonomi.
Menariknya, topik mengenai peran wanita di kancah politik dan ekonomi Jerman bukanlah hal baru. Mungkin kita perlu mencoba mempelajari sejarah bangkitnya peran perempuan di negara tersebut. Di sini, sangatlah mudah untuk menonton televisi dan melihat sejumlah politikus perempuan yang aktif di partai pun parlemen. Mereka tampak anggun dan profesional. Media pun tak pernah menyoroti kehidupan pribadi mereka terlalu jauh. Kenapa? Karena hal itu dinilai tidak etis! (Beda dengan Indonesia yang hobi nonton gosip, jadi media pun pontang-panting cari 'berita'.)
Isu gender memang penting di sini. Kalau ada orang yang merasa didiskriminasi (apapun alasannya), orang bisa melaporkan kasusnya kepada yang berwajib. Maju selangkah dari sistem pelaporan ini, Jerman malah punya undang-undang yang mengatur jumlah atau kuota perempuan yang dapat duduk di kursi kepemimpinan, entah itu di organisasi, perusahaan ataupun pemerintahan.
Jadi, aneh rasanya membaca berita-berita tentang penolakan warga terhadap lurahnya yang perempuan dan berbeda agama -- yang belakangan ini hangat dibicarakan. Tentunya di balik itu semua ada oknum-oknum yang hanya ingin mengacau, begitu hemat saya. Tapi, ini menunjukkan betapa masih terbelakangnya cara pikir kita, masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengapa kita masih bisa terpancing oleh isu-isu gender dan agama? Apalagi sejak jaman nenek moyang kita, kita tahu Indonesia ini majemuk! Lucu sekali, bukan?
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, adalah salah satu contoh lain yang kita, para-empu-an Indonesia, dapat saksikan kiprahnya. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak?
Akhirnya, saya berharap di hari-hari mendatang akan semakin banyak perempuan yang tampil menjadi pemimpin - di mana saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H