Gugusan Nusantara di pangkuan Ibu Pertiwi telah rapuh. Kesadaran untuk tetap bersaudara dalam naungan atap kebhinekaan telah tercerabut oleh dangkalnya pemaknaan terhadap rangkaian huruf yang berbunyi I-n-d-o-n-e-s-i-a. Sehingga Indonesia seperti rumah bagi satu golongan saja. Golongan mayoritas yang mendominasi berbagai macam kelas dengan beragam sekatnya. entah sekat agama, suku, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) demikian sabda putera bangsa yang bernama Soekarno. Namun, jargon itu sampai hari ini hanya hidup dalam alam idealisme tanpa ada upaya untuk menghadirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jasmerah hanya menjadi bunga rampai yang selalu kita kutip dalam setiap orasi dan narasi ilmiah kita. Sehingga kenyataan hidup untuk selalu belajar dari sejarah masih jauh panggang dari api.
Tujuh ratus tahun lamanya bangsa besar ini pernah jaya. Masyarakat hidup makmur, guyub rukun, ayem tentrem, rame ing gawe sepi ing pamrih. Tidak pernah bangsa ini sebelumnya bergejolak kecuali dalam rangka menuju masyarakat yang satu. Menuju suatu masyarakat yang baldatun toyibatun waraghbun ghafur. Satu contoh adanya Candi Kalasan, betapa artefak tersebut sangat syarat akan akulturasi Hindu dengan Budha. Ini membuktikan bahwa saat itu keberbedaan adalah sebuah kewajaran tanpa harus dipertentangkan satu sama lain.
Betapa bangsa Indonesia akhir-akhir ini seakan identik dengan konflik. Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik.
Di samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan Konflik, terutama Konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Sistem penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik dan represif. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik masih bersifat parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam bentuk Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.
Lain dari pada itu, kita sebagai warganegara Indonesia patut berbangga, karena tidak seperti Negara-negara muslim lainnya, bahwa mayoritas umat islam adalah kalangan yang mengidentifikasikan kelompoknya sebagai kelompok moderat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang merupakan ormas terbesar telah meneguhkan dirinya sebagai garda terdepan wacana keislaman yang berorientasi kebangsaan dan kemanusiaan. Fakta tersebut tidak hanya diperkuat oleh institusi dan gerakan keislaman moderat, tetapi lebih dari itu ya itu pandangan keagamaan moderat. Hampir di berbagai disiplin keilmuan lahir para pemikir yang merepresentasikan pandangan keagamaan moderat. Istimewanya, mereka tidak hanya tersentralisasikan di ibu kota, tetapi juga tersebar di penjuru negeri ini. Lihatlah misalnya, di beberapa pondok pesantren tumbuh kader-kader ulama yang berpandangan lebih arif dan mencerahkan. Maklum karena di sejumlah pondok pesantren juga sudah mendirikan perguruan tinggi dengan sejumlah program studi.
Jadi, memungkinkan sebenarnya jika berkiblat dan mengambil pandangan-pandangan yang dipakai oleh kedua ormas terbesar ini untuk menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara yang Nyaman untuk semua. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H