Bank sentral adalah suatu lembaga yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas harga atau nilai suatu mata uang yang berlaku di suatu negara, yang dalam hal ini dapat dikenal dengan istilah inflasi atau naiknya harga-harga yang dalam arti lain turunnya suatu nilai uang. Suatu negara memerlukan adanya lembaga seperti bank sentral guna melaksanakan tanggung jawab atas kebijakan di suatu negara yang berwenang dalam kebijakan moneter. Begitu pula pada negara Indonesia yang memiliki bank sentralnya sendiri. Bank sentral yang ada di Indonesia disebut juga dengan Bank Indonesia.
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang ada di Indonesia mengatur segala bentuk kebijakan moneter yang ada. Bank Indonesia sendiri memiliki tujuan dan tugasnya. Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (www.bi.go.id). kestabilan nilai rupiah mempunyai arti kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa yang tercermin pada perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Tujuan utama ini dijadikan Bank Indonesia selaku bank sentral sebagai tolak ukur pelakasanaannya dalam menjalankan tugasnya tersebut, apakah berhasil atau tidak, sehingga dapat mengetahui tingkat keberhasilannya sejauh mana.Â
Bank Indonesia sebagai lembaga yang krusial dalam menentukan arah kebijakan moneter tidaklah harus dipengaruhi atau ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bank Indonesia sebagai bank sentral haruslah lembaga independen yang dalam mengambil keputusan tidak untuk kepentingan salah satu pihak, tetapi Bank Indonesia mengambil keputusan demi keberlangsungan sistem moneter yang sesuai dengan arah dan kondisi keuangan di Indonesia. Perlunya memiliki bank sentral yang independen sangatlah diperlukan, karena nantinya apabila bank sentral yang tidak independen atau tidak berdiri sendiri atau dengan kata lain dipengaruhi oleh pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan salah satunya terjadi inflation tax atau monetizing the debt yang disebabkan oleh keputusan dalam mencetak uang.
Seperti halnya beberapa waktu lalu, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) mengusulkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia agar mencetak uang senilai Rp 600 triliun guna menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat adanya pandemic Covid-19. Apabila Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak independen, maka Bank Indonesia akan melakukan hal tersebut tanpa pikir panjang.Â
Namun yang perlu diperhatikan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen tidak akan melakukan hal tersebut, walaupun keadaan pada saat ini diterpa ketidakpastian akibat pandemic Covid-19. Menurut Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia, mnecetak uang dalam jumlah yang sangat besar bukanlah hal yang lazim yang dilakukan oleh bank sentral.Â
Dalam melakukan kebijakan moneter, bank sentral selalu melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mulai dari melakukan perencanaan, pencetakan, ataupun pemusnahan uang. Menurut Perry juga jumlah uang yang akan dicetak oleh Bank Indonesia selalui sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Adapaun indikator dalam menentukan jumlah uang yang harus dicetak adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, serta memperhatikan pula stok uang. Â
Bank Indonesia dalam memutuskan kebijakan mengenai mencetak uang ini tentunya telah sesuai dengan tata kelola yang telah dicantumkan dan telah disesuaikan dengan Undang-Undang (UU) Mata Uang. Proses tersebut juga selalu melalui audit dari Badan Pemerikas Keuangan (BPK) setiap tahunnya, sehingga dalam keseluruhan proses mencetak uang seharusnya telah sesuai dengan yang seharusnya dilakukan atau telah sesuai dengan Undang-Undang (UU).
Hal yang paling buruk yang akan terjadi apabila Bank Indonesia menyetujui usulan dari Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) salah satunya akan terjadi inflasi. Dengan mencetak uang yang sebegitu banyaknya akan menyebabkan jumlah uang beredar (JUB) yang ada di masyarakat meningkat dan akan menyebabkan inflasi. Karena hubungan antara JUB dan inflasi dapat dijelaskan dengan Teori Kuantitas Uang (Lestari, 2018; Ambarini, 2015).Â
Pada Teori Kuantitas Uang yang dikemukakan oleh Irving Fisher menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara pertumbuhan JUB dengan kenaikan harga-harga umum atau inflasi. Kemudian pada studi Agusmianata, Militina dan Lestari (2017) juga menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar (JUB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Dengan telah adanya studi tersebut, maka apabila Bank Indonesia tetap menyetujui usulan dari Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) maka Indonesia akan mengalami inflasi. Dimana pada saat pandemic Covid-19 masih terjadi akan semakin buruk lagi keadaan perekonomian Indonesia apabila terjadi inflasi karena adanya percetakan uang secara besar-besaran.
Kemudian dalam menjaga inflasi Bank Indonesia selain mengatur dan menjaga jumlah uang beredar (JUB) yang dibutuhkan oleh masyarakat, juga menjaga kestabilan harga. Dalam menjaga stabilitas harga dimaksudkan untuk menjaga dari terjadinya inflasi, karena dengan adanya inflasi harga-harga akan naik.Â
Seperti dimaksudkan menurut aliran Keynesian, inflasi akan terjadi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi dorongan biaya (cost push inflation). Inflasi tarikan permintaan terjadi karena permintaan barang atau jasa meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan produksi atau pasokan barang atau jasa di pasar. Inflasi dorongan biaya terjadi karena harga input atau biaya produksi barang atau jasa cenderung naik, sehingga harga produk barang atau jasa yang dihasilkan juga meningkat.