Namanya sudah terdengar sejak seminggu lalu. Tapi batang hidungnya belum muncul-muncul juga. Ke mana Rexy Mainaky?
Tentu saja saya tahu selama ini dia melatih di Filipina. Barangkali dia masih mengurus  kontraknya yang pada awalnya berdurasi dua tahun itu. Atau bisa juga dia sedang menyiapkan sistem pelatihan untuk diteruskan oleh penerusnya.
Sebegitu berharapnya saya dan semua pencinta bulutangkis pada Rexy sehingga menunggunya seminggu saja sudah sangat lama. Tapi begitulah kenyataanya. Bulutangkis Indonesia sedang memasuki masa-masa paling kelam, sekelam-kelamnya. Kegagalan lolos ke semifinal Piala Thomas untuk pertama kalinya, kegagalan melanjutkan tradisi emas, dan lain sebagainya.
Rexy adalah salah satu orang yang dipercaya bisa memperbaiki kondisi ini. Jika dianggap terlalu berlebihan, paling tidak Rexy bisa pulang untuk melatih di nomor spesialisnya: ganda putra. Ketika Gita Wiryawan mengumumkan kabinetnya, mungkin tidak ada yang mengira bahwa Rexy akan menduduki posisi yang paling penting. Hingga empat tahun mendatang Rexy akan bertugas sebagai kepala bidang pembinaan prestasi PBSI.
Kegagalan Djoko Santoso dapat dilihat dengan kelemahan di posisi ini. Lius Pongoh mengundurkan diri karena merasa tidak cocok dengan sang mantan panglima TNI. Penggantinya, Hadi Nasri juga mundur. Alasannya kurang lebih sama.
Mampukah Rexy? Inilah harapan kita. Bersama-sama Susi Susanti sebagai kaki tangan Gita yang sibuk (staf ahli) dan Christian Hadinata yang menangani pelatnas, Rexy harus dan pasti bisa. Toh ketiga orang ini sudah berhubungan sejak lama. Susi adalah yunior Rexy, meski secara prestasi Susi lebih duluan mengorbit. Christian adalah pelatihnya Rexy.
Kehebatan Rexy melatih di Inggris dan Malaysia adalah sebuah bukti. Bahwa di negeri yang tidak melimpah bakat saja dia bisa membuat ganda dua negara itu naik ke papan atas. Apalagi dia kini menangani negara yang talenta bulutangkisnya bertaburan, yang kalau dilihat dari populasi dan sejarah, nomor dua setelah Cina.
Kehebatan Cina memang di satu sisi mengagumkan. Tapi di sisi lain berbahaya. Berbahanya adalah bahwa dominasi satu negara terhadap sebuah cabang olahraga tidak baik bagi masa depan olahraga itu sendiri. Di cabang populer seperti sepak bola saja orang bosan melihat Brasil dulu terus juara, atau sekarang dengan supremasi Spanyol. Apalagi bulutangkis yang kecintaan orang padanya sebagian besar karena sentimen nasional.
Kehebatan Cina adalah buah jerih payah Li Yongbo. Seperti juga Rexy, Li Yongbo juga mantan ganda terbaik di zamannya. Yang membedakan adalah, Rexy pernah juara olimpade, sedangkan Li Yongbo tidak. Memang dalam bulutangkis ada sedikit "keanehan". Pelatih yang hebat biasanya bekas pemain ganda. Christian Hadinata, Park Jo Bong, Li Yongbo, dan kemudian Rexy tidak hanya ganda terbaik di zamannya, tapi juga berhasil sebagai pelatih. Yang membedakan, Christian dan Li Yongbo hanya melatih di negaranya sendiri, sedangkan Park Jo Bong dan Rexy sudah melanglang buana ke berbagai negeri.
Di antara keempat orang itu prestasi Li Yongbo memang paling fenomenal. Menduduki jabatan pelatih kepala, Li telah melahirkan puluhan pemain terbaik. Tidak hanya di satu nomor, tapi semua nomor. Puncaknya adalah di Olimpiade London lalu ketika pemain Cina sapu bersih semua nomor, tanpa terkecuali. Piala Thomas, Uber, dan Sudirman selama tahun 2000-an tidak pernah mau singgah ke negara lain.
Saya percaya Rexy mampu. Bahkan dia lebih hebat karena pernah berhasil di negara yang stoknya minim (baca: Gara-gaya Khianati Rexy). Berbeda dengan Li Yongbo yang tanpanya saja mungkin Cina tetap hebat. Posisi pelatih kepala memang tidak dikenal di PBSI. Yang ada hanyalah koordinator pelatih tunggal dan koordinator pelatih ganda. Tapi bisa dibilang tanggung jawab Rexy sama dengan Li Yongbo.