Revolusi butuh korban. Di mana-mana setiap gerakan massa yang menuntut perubahan pasti memakan korban. Kita bisa saksikan dalam hari-hari belakangan di Timur Tengah sana. Ben Ali, Mubarak, sudah merasakan sendiri kalau menembak gerombolan demonstran hanya akan menambah simpati. Dan akhirnya, keduanya pun mundur.
Tidak hanya di sana. Revolusi-revolusi besar hingga skala yang kurang terdengar gaungnya pun memiliki pola yang mirip. Pertama ada korban yang ditembak. Lalu massa makin beringas dan semakin yakin bahwa perjuangan mereka sudah berada dalam jalur yang benar. Darah pun tumpah tak karuan hingga apa yang menjadi tuntutan massa bisa terwujud.
Di Indonesia, gerakan massa tidak pernah disebut revolusi. Indonesia hanya punya Revolusi 17 Agustus yang membawa negeri ini keluar dari penjajahan. Ada memang dukungan massa. Tapi, berbeda dengan yang terjadi di Mesir dan Tunisia, rakyat saat itu bukanlah musuh tentara. Justru mereka manunggal. Tentara yang berasal dari rakyat melawan penjajah yang coba-coba mengganggu revolusi.
Meski begitu, ada saat di mana mereka berseberangan. Itu terjadi ketika gerombolan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S) "memberontak" terhadap pemerintahan yang sah. Tujuh perwira gugur dalam gulita dini hari.
Seketika, PKI dituduh sebagai dalang. Segenap masyarakat yang selama hidupnya dirugikan dengan tindak-tanduk PKI satu suara: PKI harus bubar. Tidak hanya itu, kabinet di bawah Paduka Yang Mulia Soekarno juga harus dibersihkan dari unsur-unsur G30S dan PKI.
Momentumnya juga tepat. Saat itu inflasi makin parah. Rakyat pun mengalami kesulitan ekonomi. Harga-harga kebutuhan pokok naik.
Dengan modal ketiganya lah mahasiswa turun ke jalan. Tanggal 10 Januari 1966 Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia(KAMI) pertama kali melakukan aksi. Tiga tuntutan itu disingkat dengan Tritura: Tri Tuntutan Rakyat.
Namun, sang Paduka ternyata tidak senang. Baginya PKI tidak boleh dibubarkan. Mereka sama patriotnya dengan kelompok Islam ataupun Nasionalis tulen. Jika si PKI itu dibubarkan, tidak hanya Nasakom-nya Bung Karno yang tanggal tapi juga menghilangkan kenyataan di masyarakat bahwa mereka terfragmentasi atas tiga kekuatan tadi.
Bisa benar, bisa tidak. Bung Karno pasti tahu pembunuhan besar-besaran di pelosok tanah air terhadap mereka yang terlibat PKI. Itu artinya, masyarakat sudah tinggal dua kelompok saja. Tidak ada lagi orang komunis yang dapat bebas berkeliaran. Dan konsep Nasakom sudah tidak realistis lagi.
Tapi Bung Karno tetaplah Bung Karno. Dia tidak mendengar tuntutan itu meski Panglima Angkatan Darat-nya Soeharto rela menjadi bamper jika PKI dibubarkan. Bung Karno malah perintahkan untuk membubarkan aksi-aksi mahasiswa.
Dengan demikian, tentara pun berhadapan dengan rakyat yang diwakilkan mahasiswa. Tapi tentu saja tidak ikhlas. Para mahasiswa toh mendapat dukungan dari tentara. Mereka jelas tidak mau khianati sejarah.