Ketika memutuskan untuk terjun ke dunia politik, seorang Anas Urbaningrum pasti berkeyakinan bahwa dia mempunyai modal politik yang besar. Anas adalah seorang Jawa dan beragama Islam serta memiliki pertalian dengan ormas Islam terbesar di Indonesia, NU. Dia digembleng di HMI yang menurut saya merupakan "kawah candradimuka" terbaik kedua setelah Akademi Militer.
Dengan modal politik ini, Anas pede untuk masuk ke Partai Demokrat pada tahun 2005. Dia memperhitungkan dengan cermat bahwa masuk ke partai pengusa ini dapat memuluskan ambisinya menjadi presiden. Dia berpikir untuk menguasai partai ini dan pada akhirnya akan mengusungnya menjadi presiden.
Anas berpikir bahwa satu-satunya cara adalah dengan menjadi ketua umum Partai Demokrat. Bukan jabatan paling penting memang, karena di atas masih ada SBY. Tapi setidaknya dirinya akan banyak disorot publik dan lebih mudah dalam membuat jaringan. Tapi seperti kita tahu SBY tidak mendukung dia pada kongres 2010. Maka, Anas yang barangkali terobesesi untuk cepat-cepat menjadi pengganti SBY tahun 2014, memilih jalan pintas. Dia menggandeng Muhammad Nazaruddin untuk mencari dana. Meminjam istilah seniornya di HMI, almarhum Nurcholish Madjid, Anas butuh "gizi" untuk menjadi ketua umum Partai Demokrat. Gizi itulah yang bakal merayu para pemilik suara di Kongres.
Pada akhirnya Anas memang terpilih. Seketika namanya langsung menjadi puncak perbincangan. Belum apa-apa sudah ada yang bertanya apakah dia akan menjadi capres tahun 2014 mendatang, persis seperti harapannya. Sebagaimana lazimnya politisi, dia tidak menjawab dengan tegas. Tapi setiap orang tentu paham bahwa Anas yang masih berusia 41 tahun itu, mengincar kursi RI-1.
Namun sayang, di tengah proses menuju ke arah sana, jalan terjal langsung menghadangnya. Setahun setelah terpilih, tiba-tiba muncul skandal korupsi yang melibatkan Nazaruddin. Skandal Wisma Atlet menunjukkan keterlibatan Nazar yang menjadi anggota DPR. Nazar lalu dipecat dari Demokrat dan lari ke luar negeri. Di pelariannya tiba-tiba Nazar muncul lewat video streaming dan mengabarkan hal yang mengejutkan: Anas terlibat dalam kasus korupsi lain bernama proyek Hambalang.
Semenjak bulan Juli 2011 itu hingga sekarang, Anas terus dikejar oleh pertanyaan apakah dia memang terliat dalam kasus korupsi itu. Di saat yang sama Nazar terus bercuap-cuap sambil membeberkan bukti-bukti kepada KPK. Sudah pasti apa yang disebut Anas dengan istilah "halusinasi Nazar" ini berimbas pada suara Partai Demokrat. Suara Demokrat melorot drastis hingga 8 persen.
Melihat kenyataan ini SBY sebagai pendiri partai lantas turun tangan. Dua minggu lalu, kekuasaan Anas diambil alih oleh SBY, dan menyuruh Anas untuk mengurus kasus hukumnya di KPK. Semua orang bertanya-tanya apakah benar Anas sudah dan akan menjadi tersangka? Meski bukan dukun, apa yang dikatakan oleh SBY terbukti malam hari ini, Jumat 22 Februari 2013. Di hari "Jumat Keramat" ini, Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK!
Sejak malam ini, Anas yang barangkali sedang shalat dan berdoa memohon petunjuk dari Tuhan, mendapati kenyataan bahwa modal utama menjadi presiden bukanlah Islam, Jawa, NU, dan HMI, melainkan cuma satu kata: integritas. Inilah modal terpenting yang harus dimiliki oleh calon pemimpin Indonesia. Tanpa ini sia-sialah identitas primordial dan pengalaman politik yang dimiliki.
Dengan menjadi tersangka kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi, sangat sulit bagi rakyat untuk melupakannya. Anas yang sarjana ilmu politik barangkali percaya pada olok-olokan yang mengatakan bahwa "rakyat Indonesia mudah lupa". Tapi ketika media dengan gencarnya memberitakan kasusnya selama hampir dua tahun ini, belum lagi hingga persidangan nantinya, sudah dapat diduga bahwa namanya akan masuk dalam memori jangka panjang orang Indonesia.
Belum lagi syarat menjadi presiden yang tidak boleh menjadi napi akan semakin memutahilkan obsesinya itu. Dibutuhkan kejadian luar biasa seperti Suharto misalnya yang pernah tersandung kasus korupsi ketika menjadi Panglima Kodam Diponegoro, tapi berhasil melenggang jadi presiden karena peristiwa luar biasa bernama G30S. Ketakutan pada PKI saat itu lebih mencekam ketimbang rekam jejak yang buruk dari Jenderal Suharto.
Di zaman modern ini kita percaya bahwa kejadian seperti itu tidak mungkin terulang. Anas yang menjadi tokoh mahasiswa tahun 1998 pasti tidak menginginkan hal yang sama. Reformasi menghendaki agar proses pergantian kepemimpian berlangsung dalam koridor demokrasi, bukan dengan cara-cara "aneh".