Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

“Misteri” 26

6 Juli 2010   12:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_186999" align="alignleft" width="300" caption="sneijder (kompas.com)"][/caption]

Piala Dunia hanyalah salah satu even dalam kehidupan olahraga modern. Namun demikian antusiasme pada even tersebut melebihi yang lain. Kita pernah dengar bahwa jumlah penonton Piala Dunia lebih banyak ketimbang Olimpiade yang notabene olahraga multicabang. Juga tidak kurang berbondong-bondong sponsor bersedia membayar mahal agar nama produknya bisa dipampang secara resmi. Masih banyak yang lainnya.

Kenyataan tersebut paling tidak membawa kita pada kesimpulan bahwa turnamen 4 tahunan tersebut punya sesuatu yang misterius. Psikolog mungkin memiliki kesimpulan akan antusiasme penonton. Ekonom juga juga harus memecahkan misteri pengeluaran super para penggila bola. Namun bagi saya yang belum dikategorikan memiliki keahlian tertentu ada satu misteri sejak saya bergumul dengan sepakbola khususnya Piala Dunia. Apakah itu?

Mendengar nama-nama semisal Diego Maradona, Zinedine Zidane, dan Ronaldo pasti mengembalikan memori kita kepada pemain yang merupakan pahlawan kemenangan tim nasional negaranya pada Piala Dunia terdahulu. Ketiganya begitu berperan besar kalau tidak boleh dikatakan aktor utama dibalik sukses negaranya. Tapi tahukah kita bahwa ada kesamaan antara ketiganya, yaitu usia. Benar! Ketiganya menjadi bintang sekaligus merebut trofi ketika usia ketiganya pada kisaran 26 Tahun.

Diego Armando Maradona yang sekarang pelatih Timnas Argentina adalah pemain kelahiran 1960. Pada tahun 1986 Maradona tidak hanya membawa negaranya juara melainkan juga menjadi bintang turnemen itu dengan gelar pemain terbaik. Pusat perhatian terhadap sosok ini tak lain dan tak bukan adalah aksi-aksinya pada babak perempatfinal melawan Inggris. Dalam pertandingan itu, si Diego mencetak gol yang boleh dikatakan paling buruk dengan tangannya, namun tak lama berselang Ia mencetak gol terbaik abad ini. Sungguh fenomenal!

Piala Dunia 1998 adalah masa kelahiran bintang baru Prancis keturunan Aljazair, Zinedine Zidane. Pemain kelahiran 1972 tersebut menjadi bintang pada partai final dengan 2 gol yang disarangkan ke gawang Claudio Taffarel. Berkat penampilan menawannya itu, ia dianugerahi pemain terbaik dunia tahun 1998 oleh FIFA. Kita sudah saksikan kemudian bagaimana sang profesor semenjak tahun 1998 hingga pensiun 8 tahun kemudian mempersembahkan gelar demi gelar kepada negaranya maupun klub yang dibelanya. Yang paling fenomenal tentu Juara Liga Champion tahun 2002 dengan golnya pada partai puncak yang sangat indah dan cerdas itu.

Jika Zidane di akhir kompetisi 2001-2002 mendapatkan gelar juara di level klub, yang sebaliknya terjadi pada Pemain yang 4 tahun sebelumnya menjadi lawannya di final tahun 1998, Ronaldo. Sang Fenomenal, julukan striker plontos ini lebih sering duduk di kursi penonton lantaran cedera yang terus menggerogotinya. Kepedihan makin terasa setelah Inter Milan, klub yang dibelanya gagal merebut scudetto di pekan terakhir Serie-A. Ditambah buruknya performa Brasil di babak kualifikasi Piala Dunia zona Amerika Selatan, semua memandang pesimis peluang Ronaldo dan Brasil mendapatkan gelar kelima mereka. Tapi, semuanya terbukti keliru. Di level timnas justru Ronaldo menunjukkan kebuasannya. Dengan bantuan playmaker Rivaldo, Ia menjadi top scorer turnamen dengan 8 gol. Dua gol di antaranya dicetak ke gawang Oliver Kahn pada partai puncak. Derita 4 tahun sebelumnya terbayar. Pada tahun itu ia yang kemudian pindah ke Real Madrid terpilih sebagai pemain terbaik dunia FIFA.

Melihat perjalanan ketiga legenda tersebut segera saya mencoba membuat suatu perkiraan pada Piala Dunia tahun 2006. Pemain yang berusia sekitar 26 tahun-artinya kelahiran 1980-bakal menjadi bintang dan membawa negaranya menjadi juara. Pilihan saya jatuh pada bintang yang dalam 2 tahun itu menjadi buah bibir pecinta sepakbola. Siapa lagi selain si one man show, Ronaldinho. Apalagi ia baru saja membawa Barcelona menjadi juara Liga Champion dan juga membawa prestasi mentereng, pemain terbaik Eropa dan Dunia tahun 2005. Lengkap sudah atributnya menjadi bintang. Namun apa daya, Ronaldinho tidak menunjukkan dirinya sebagai bintang besar. Meski aksi individunya memainkan si kulit bundar tetap memikat, ia hampir tak memberi sumbangan penting bagi tim Brasil. Di babak perempatfinal, Brasil kesandung oleh Prancis yang dikomandani Zinedine Zidane. Seketika, Ronaldinho  menjadi public enemy Brasil. Patung perunggunya di Porto Alegre, kota kelahirannya dirusak.  Dan sampai sekarang, sihir Ronaldinho sudah tidak mampu keluar sebagaimana masa emasnya tahun 2002-2006.

Italia yang juara pada tahun 2006 lebih mengandalkan permainan kolektif ketimbang individu sehingga saya menyimpulkan tak ada "misteri" usia 26 pada Piala Dunia di Jerman tersebut. Di awal Piala Dunia 2010 saya mulai menyangsikan faktor bintang berusia 26 tahun. Walau begitu saya tetap mencoba mengumpulkan pemain bintang (baca:berpotensi bintang) di tim besar kelahiran 1984. Beberapa di antaranya:

  • Robinho: Brasil dan Santos
  • Fernando Torres: Spanyol dan Liverpool
  • Carlos Teves: Argentina dan Manchester City
  • Wesley Sneijder: Belanda dan Inter Milan
  • Bastian Schweinsteiger : Jerman dan Bayern Muenchen

Dari nama-nama pemain di atas yang paling mentereng prestasinya tentu adalah Wesley Sneijder, playmaker Inter Milan yang baru membawa pulang treble winners disusul Schweni yang membawa Muenchen mendapat double winners. Meski semula agak ragu dengan "misteri 26", saya kemudian kembali bersemangat ketika perempatfinal pertama antara Brasil Vs Belanda yang dimenangi tim oranje dan pembantaian Argentina oleh Jerman. Bintang dari kedua pertandingan adalah kedua pemain kelahiran 1984 tersebut. Keduanya memperoleh gelar man of the match.

Mengingat lawan Belanda pada babak semifinal hanyalah "bulan-bulanan" Brasil di Amerika Selatan, Uruguay, tentu secara matematis Belanda tanpa kesulitan bakal melenggang hingga ke Final. Ditambah gugurnya tim Robinho dan Teves serta belum on-nya performa Torres, bisakah Sneijder mengulangi misteri 26? Saingan paling berat mungkin Bastian Schweinsteiger yang menunjukkan performa apik meski tak mencetak banyak gol.  Entahlah! Jika tak terjadi mungkin ini hanyalah sekedar koinsedensi belaka seperti halnya "puasa juara 24 tahun" Brasil 94 dan Italia 06 yang tidak bisa diulangi Argentina di tahun 2010 ini. Andaipun benar, maka semakin membuat senyam-senyum pecinta sejarah dengan adagium L'histoire se repete-nya atau sejarah berulang. Meski tak periodik, bisalah dijadikan sampel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun