Khofifah gagal melaju sebagai calon gubernur Jawa Timur. Begitu isi media sejak pagi hari ini. Kemarin malam, KPU Jawa Timur memutuskan Khofifah dan pasangannya, Herman Sumawiredja, tidak memenuhi syarat dukungan 15 persen suara partai politik. Dengan keputusan ini, hanya ada tiga pasang cagub-cawagub yang akan bertanding Agustus mendatang.
Bagi calon petahana, Sukarwo, jumlah tiga pasang ini mungkin terlalu banyak. Gubernur Jatim ini sempat berwacana agar pemilihan gubernur bahkan tidak perlu diadakan, apabila calon yang ada cuma satu. Siapa lagi kecuali dirinya sendiri. Pakde Karwo begitu percaya diri menang untuk periode kedua. Tidak sekedar menang, melainkan juga menang secara mutlak. Dia yakin bahwa calon lain sudah keder duluan menghadapinya.
Tapi pada kenyataannya tidak begitu. Mendengar pergerakan Khofifah yang didukung kiai-kiai NU, Sukarwo agak ciut nyali. Apalagi jika sang wakil, Saifullah Yusuf, tidak mau bergandengan tangan lagi dengannya. Duet Saifullah Yusuf-Khofifah seandainya terwujud, akan menghimpun seluruh potensi suara warga nahdliyin yang ingin memiliki gubernur di basisnya sendiri.
Rangkaian pilgub Jatim semakin menarik ketika PDIP, partai terkuat kedua, berancang-ancang memajukan calonnya sendiri. Pengalaman Pilgub 2008 menunjukkan sekalipun calon Banteng Moncong Putih kalah, tapi suara PDIP sebesar 20-an persen utuh. Bagi PDI P tampaknya penting untuk menang di tanah kelahiran Sukarno ini, akan tetapi lebih penting lagi untuk menyolidkan suara. Apalagi tambahan amunisi kader-kadernya yang menjadi bupati dan wali kota.
Melihat kenyataan akan ada dua penantangnya, satu Khofifah dan satu lagi dari PDIP, atau bisa saja keduanya bergabung, membuat Sukarwo gencar bermanuver. Pendekatan terhadap partai-partai di Jatim dilakukan terus-menerus. Suara Partai Demokrat yang 22 persen sebenarnya sudah cukup bagi Sukarwo, sang Ketum Demokrat Jatim. Tapi seperti keyakinan semula, semakin sedikit calon semakin baik.
Maka Golkar, PKS, Gerindra, Hanura, PPP, PKNU yang memiliki suara di DPRD Jatim pun mengiyakan turut dalam gerbong "Karsa" jilid II. Masih kurang, partai-partai kecil non-parleman pun diajak serta. Total ada 30 lebih partai yang mendukung calon ini.
Melihat hasil yang luar biasa ini, Sukarwo tampaknya ahli menerjemahkan kata-kata Bung Karno: samenbundeling van alle krachten, penyatuan seluruh kekuatan. Sukarwo yang masa mudanya adalah kader GMNI tampaknya terobsesi ingin seperti tokoh panutannya itu, menghimpun segenap suara partai untuk mendukungnya. Sukarwo tampil bak seorang tokoh pemersatu, bukan seperti seniornya di PDIP, Megawati Sukarnoputri, yang suka "sendirian".
Akan tetapi kita akan maklum kepada Bung Karno yang pada zaman itu memang harus menyatukan bangsa ini. Juga, pada waktu itu tidak ada pemilihan pemimpin secara langsung, sebagaimana menjadi tuntunan era Reformasi. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa partai-partai yang jelas-jelas berbeda ideologi: Masyumi, NU, PNI, dan PKI, tidak bisa bersatu. Membuang Masyumi sehingga tinggal hanya "Nasakom" juga pada akhirnya retak.
Zaman ini ideologi sudah cair. Motivasi partai adalah kekuasaan. Dengan demikian lebih mudah menyatukannya. Tapi Sukarwo yang sudah berupaya sekuat tenaga juga gagal menyatukan seluruh partai di Jatim masuk ke dalam gerbongnya.
PDIP tetap sendirian mengajukan calonnya, Bambang DH-Said Abdullah. Yang satu adalah bekas walikota Surabaya yang saking setianya pada partai mau turun pangkat menjadi wakil walikota. Satunya lagi merupakan anggota DPR dari Madura. Sedari awal Bambang sudah mengatakan berat untuk menang. Tapi, jika turun pangkat saja mau, apalagi menjadi cagub mesti toh akan kalah.
Satu partai besar lain, PKB, akhirnya mau menampung Khofifah yang sudah berupaya sekuat tenaga mengumpulkan partai-partai gurem. Dengan dukungan PKB dan partai-partai gurem itu, diperoleh total suara minimal untuk ikut dalam pilgub.