Ketika seorang perwira muda Turki mengambil alih kepemimpinan di negerinya tahun awal 1920-an, ia segera men-sekulerkan negeri khalifah tersebut. Tidak hanya membubarkan Kekhalifahan dan mengambil model republik, ia juga melakukan langkah-langkah "kecil" semisal mengetatkan jam istirahat shalat di institusi- institusi yang begitu longgar sampai-sampai sering dijadikan alasan untuk mangkir dari tugas.
Entah apa gerangan yang membuat perwira yang kita ketahui bernama Mustafa Kemal Pasha itu perlu membuat revolusi besar-besaran di sana. Mungkin dia sadar, agama yang seharusnya pendorong kemajuan - sebagaimana zaman gemilang yang leluhur Ustmani-nya dulu buktikan - telah disalahgunakan dan mengakibatkan kemunduran dalam segala hal sehingga berimbas pada negerinya yang mendapat sindiran "pesakitan Eropa", The Sick of Europe.
Mustafa Kemal seketika jadi musuh kaum muslim di seantero negeri-negeri Islam yang mayoritas masih dijajah oleh bangsa barat. Namun dia tidak sendiri. Setidaknya di Indonesia seorang pemuda yang lahir dari pergerakan bernama Soekarno mati-matian membela gagasan sang Ataturk di hadapan para nasionalis Islam untuk dijadikan model pasca-kemerdekaaan Indonesia kelak.
Saya tidak mau membicarakan masa lalu sebab sekarang bukan zaman mereka. Namun, saya jadi teringat kisah Bapak Bangsa Turki modern itu ketika hal yang kurang lebih sama terjadi di negeri ini, saat ini. Bahkan tak perlu saya ambil jauh-jauh, di lingkungan saya sendiri, sebuah kampus.
Tentu membicarakan kampus bukanlah membicarakan masyarakat terbelakang seperti Turki di awal abad 20. Kampus adalah antitesisnya. Di sanalah pikiran-pikiran progresif bertemu, temuan-temuan revolusioner diciptakan, serta cita-cita jauh ke depan lahir. Artinya, kampus identik dengan segala yang berbau modern, bahkan juga sampai pada yang berbau materi.
Namun, ada kemiripan antara civitas academica kampus dan civitas Turki Ustmani. Terbukti agama dijadikan alasan untuk meninabobokkan diri dalam apa yang disebut tradisi. Pada hari raya Idul fitri tahun ini, entah atas inisiatif dari mana dan di luar kelaziman, libur hari besar tersebut diperpanjang menjadi dua minggu!
Saya sampai sekarang tak habis mengerti mengapa mereka yang seharusnya jadi panutan tidak berpikir panjang sebelum memutuskan. Jelas, banyak sekali pengaruh libur terhadap keefektian pengembanan tri darma perguruan tinggi. Mahasiswa pasti tidak mengisi kepalanya dengan ilmu-ilmu baru sebab waktunya banyak dihabiskan demi sekedar jalan-jalan di kampung dan bersua teman lama. Dosen sebagai pengajar dan peneliti juga pasti tak jauh panggang dari api.
Saya mahfum akan budaya komunal masyarakat Indonesia apalagi jika itu berhubungan dengan hari suci yang telah menjadi budaya itu sendiri. Namun saya yang selama ini menyaksikan sendiri bagaimana hal itu dijalankan tidak bisa menerima jika waktu untuk sekedar mengulang-ulang ritus tahunan itu diperpanjang. Inilah bentuk kemunduran itu di tempat yang seharusnya menciptakan suasana yang sebaliknya.
Entahlah. Saya rasa di saat seperti ini juga tak ada suara-suara tentangan dari para mahasiswa yang biasanya kritis. Suara mereka bungkam sendiri sebab mereka juga menilai tidak ada yang salah dari aturan itu. Mereka menikmatinya. Dan sang pembuat aturan juga mendapat tepuk tangan bahwa untuk kali ini mereka dapat memahami mahasiswa.
Jika begini, saya mungkin berpikir ulang tentang kampus yang adalah wadah kemajuan itu. Ternyata kemajuan yang digembor-gemborkan tak lebih dari sekedar diskritisasi alias penerimaan apa yang baru namun belum menanggalkan kebiasaan usang, dengan kelewat batas pula.