Ada angin segar dalam dunia politik kita! Di saat pragmatisme menjangkiti sebagian besar politikus kita, ternyata masih ada segelintir di antara mereka yang tahu apa itu kehormatan. Di saat kita gembor-gemborkan etika dalam demokrasi, ternyata dalam alam feodal kita dapati apa itu kemuliaan!
GBPH Prabukusumo mungkin tidak pernah kita dengar sepak terjangnya. Memang, dia bukanlah politikus yang berkantor pusat di Jakarta. Dia juga tidak menjabat jabatan penting yang bisa membuat namanya menasional. Dia hanyalah seorang ketua daerah partai di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai adik dari Sultan Hemengkubuwono X, Prabu memilki kendaraan politik sendiri. Sang kakak adalah anggota Partai Golkar dan sekarang sibuk di ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Dia sendiri memilih bergabung dengan partai penguasa, Partai Demokrat.
Entah apa alasannya Prabu dipercaya orang nomor satu di Partai Demokrat Yogyakarta. Tapi kita bisa menduga pasti bahwa ada sangkut-pautnya dengan darah biru yang mengalir dalam dirinya. Bermodalkan hal tersebut, tentu dapat mendongkrak perolehan suara partai penguasa itu di Yogyakarta. Dan memang akhirnya, Partai Demokratlah yang menang di sana.
Dua orang bersaudara yang berbeda partai mungkin bisa memutus silaturahmi keluarga. Kita bisa saksikan sendiri di keluarga besar Bung Karno. Adik dan kakak yang sama-sama mengaku pewaris sah ideologi bapaknya bisa berseteru. Tapi, hal tersebut tidak berlaku baki Prabu.
Partai baginya hanyalah murni sebagai kendaraan. Sebagaimana lazimnya kendaraan, penumpanglah rajanya. Tidak lebih dari itu. Sang sopir memang boleh sesukanya membuat aturan. Tapi, apabila aturan itu melanggar apa yang paling hakiki dari si penumpang, maka tidak boleh lagi ada tawar-menawar.
Hal itulah yang dilakukan Prabu. Kita sudah selama 2 minggu ini mendengar adanya niat pemerintah mengebiri keistimewaan Yogya. Sebuah kesultanan yang kita sudah tahu apa jasanya bagi republik tercinta ini. Namun, pemerintah "demokrat" itu melihat sesuatu yang salah. Ironi di sebuah negara demokrasi, tapi satu daerah tidak terjamah oleh demokrasi itu. Daerah yang masih dihinggapi mitos tentang Mbah Petruk di Gunung Merapi dan Nyi Roro Kidul di laut selatannya.
Entah apa motif pemerintah. Pertimbangan politikkah? Sentimen pribadikah? Tapi pemerintah hanya menjawab bahwa sang demokrasilah yang telah membisiki hati mereka sehingga mau mengotak-atik apa yang berlaku selama ini.
Sang kepala pemerintahan adalah juga pembina partai. Partai berembel-embel "demokrat". Tapi, yang kita lihat selama ini hanyalah kebohongan belaka. Nama itu ternyata tidak menjamin ada demokrasi di dalamnya. Tidak pernah kita dengar dinamika demokrasi yang lazim di partai itu. Semua kader satu suara mengatakan : suara (partai) Demokrat adalah suara SBY!Kalau sang pembina mengeluarkan wejangannya, tidak boleh ada yang membantah. Semua harus menurut. Apakah sang binaan memang berwatak penurut ataukah hanya membenarkan kata pembuka tulisan ini - pragmatis, saya tidak tahu. Partai yang nyaris seia-sekata dalam segala hal.
Apakah itu definisi SBY tentang demokrasi? Demokrasi yang adem ayem tanpa kegaduhan. Demokrasi yang segala gejolak bisa diselesaikan dengan cara "ayah-anak"? Mungkin saja!
Meski begitu SBY ternyata kena batunya sekarang. Seorang kadernya memilih keluar dari partai itu bukan lantaran tidak diberi kursi menteri. Tidak juga disebabkan kekecewaan menyangkut balas jasa. Prabu, sang Ketua DPD Demokrat Yogyakarta itu memilih keluar karena idealismenya tidak tertampung oleh ketua dewan pembinanya.