Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inilah Perbuatan Jokowi

14 Oktober 2012   12:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:51 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ali Sadikin berkisah tentang pelantikannya sebagai gubernur DKI Jakarta oleh Bung Karno, 28 April 1966. Berikut sepenggal pidato sang presiden:

"Cita-citaku mengenai kota Jakarta ini akan saya supplant kepadamu, seperti saya iris, saya masukkan di dalam kalbumu, Ali Sadikin. Itu bukan pekerjaan yang gampang memenuhi cita-cita, cita-cita yang besar. Tetapi Insya Allah SWT, doe je best (berusahalah dengan sebaik-baiknya), agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta Raya ini benar-benar juga (sehingga) sekian tahun lagi masih mengingat orang, dif heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin.

Bismillah, mulailah engkau punya tugas."

Pidato Bung Karno ini membakar semangat Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin seperti dituturkannya di memoarnya, Demi Jakarta (1966-1977). Semangat ini, ditunjang kemampuan manajemen yang baik, sifatnya yang keras sekaligus demokratis, membuat Bang Ali berhasil membenahi Jakarta selama 11 tahun. Kesuksesan Bang Ali ini menjadi standar, menjadi tolok ukur sehingga terus diulang-ulang tiap lima tahun ketika terjadi pergantian kepemimpinan di Jakarta. Sebuah beban yang tak mudah bagi siapapun yang menjadi orang nomor satu di Ibukota. Termasuk Jokowi.

Besok, Jokowi akan dilantik. Bukan oleh presiden, sebagaimana dulu Ali Sadikin. Tapi Jokowi tentu punya nilai lebih karena dia dipilih langsung oleh masyarakat Ibukota. Dia dipilih berdasarkan rekam jejak dan prestasinya, bukan semata intuisi Bung Karno saat memilih Ali Sadikin. Bahwasanya intuisi Bung Karno itu kemudian terbukti benar, ini pula pastinya yang diharapkan rakyat Jakarta kepada figur Jokowi.

Dahulu, Ali Sadikin tidak pernah berjanji sesuatu yang manis pada rakyat Jakarta. Tiba-tiba telepon berdering, menyuruhnya menghadap presiden.  Tahu-tahu dia sudah menjadi gubernur. Memang begitulah situasinya saat itu. Tapi kini sudah berbeda. Seorang calon pemimpin harus lebih dulu berjanji agar rakyat mau memilih dirinya. Janji bukanlah bukti. Sebuah janji masih akan membutuhkan waktu lima atau bahkan sepuluh tahun untuk terwujud. Berat dan teramat berat. Apalagi yang diurusnya adalah Ibukota negara.

Jokowi telah berjanji tak akan membiarkan rakyat Jakarta mengalami kemacetan. Ia berjanji akan membuat air sungai tidak meluap hingga ke pekarangan warga. Ia meyakinkan pemilih bahwa dalam keadaan sakit mereka tidak perlu memikirkan biaya. Kepada kaum papa yang tinggal di tepi kali, ia janjikan relokasi yang manusiawi. Sungguh angin surga!

Padahal tekanan politik di Jakarta itu sangat kuat. Tekanan dari segala penjuru ini yang selalu dikeluhkan oleh seorang jenderal Sutiyoso, pendahulu Jokowi. Berada dalam satu wilayah bersama dengan presiden, menteri, anggota DPR, pimpinan parpol, pengusaha kakap membuat gubernur DKI tidak leluasa. Kekuatan-kekuatan ini tidak bisa dielak karena gubernur bukanlah jabatan tertinggi, hanya wakil pemerintah pusat di daerah. Itupun ditambah dengan wewenang terbatas yang berlaku di sebuah negara kesatuan.

Berada dalam wilayah yang sama dengan pemimpin negara memang tidak enak. Tapi situasi ini bisa juga dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik. Gubernur misalnya, bisa saja dihadap-hadapkan secara terbuka dengan presiden maupun menteri. Gubernur dapat memposisikan dirinya sebagai orang terzalimi karena sesuatu kebijakan dari pemerintah pusat yang dianggap mengekang. Ini sudah pernah terjadi di kala Ali Sadikin berkuasa.

Bang Ali berani menentang secara terbuka menteri kabinet yang tidak mengakomodasi kepentingan Jakarta. Bang Ali juga tidak mau membela Golkar pada pemilu 1977, yang membuat beringin kalah pada tahun itu. Tapi barangkali itu dilakukannya karena dia sadar Soeharto tidak berani "mengapa-apakan" dirinya. Ali adalah seorang prajurit marinir, yang dalam sejarahnya setia kepada Bung Karno. Dendamnya kepada Soeharto dan Angkatan Darat---yang mengambil alih kekuasaan Bung Karno---dia lampiaskan dalam posisinya sebagai gubernur. Bukan lewat perang antara TNI AD versus Marinir, yang tidak disukai Bung Karno sendiri.

Keberanian Ali Sadikin bersumber dari dirinya sendiri. Dia independen, tidak ditunggangi oleh kelompok politik manapun. Tapi ceritanya lain pada kasus Jokowi. Dia kader partai oposisi, PDI Perjuangan. Setiap saat Jokowi bisa ditunggangi untuk melawan pemerintah pusat. Riwayat PDIP jelek dalam soal ini. Ini misalnya terjadi pada bulan Maret lalu ketika kepala daerah yang berasal dari Partai Banteng diperintahkan berdemo, sesuatu yang tak lazim dalam sistem negara kesatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun