Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa dan Film

24 Agustus 2012   07:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:23 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tiga bulan lalu sejumlah media memberitakan pemutaran sebuah film Indonesia di Festival Film Cannes. Perihal film Indonesia ikut festival film mungkin biasa, bahkan beberapa di antaranya meraih penghargaan. Tapi film yang diputar ini adalah sebuah film lama yang  cukup legendaris, yakni Lewat Djam Malam karya sutradara Usmar Ismail.

Dari judulnya yang masih menggunakan Ejaan Suwandi, kita sudah bisa menaksir tahun permbuatannya, yakni pada dekade 1950-an, tepatnya tahun 1954. Sebelum ditayangkan ulang di festival, film ini terlebih dulu direstorasi. Proses restorasi ini tidak mudah dan memakan biaya miliaran rupiah. Tapi dijamin harga itu terbayar dengan kualitas gambar yang boleh dikatakan layak untuk dinikmati kembali.

Mendengar berita-berita ini, muncullah rasa penasaran saya. Saya tidak tahu apakah rasa penasaran ini karena ketertarikan saya pada sesuatu yang berbau masa lalu---atau semata karena film ini membawa nama Indonesia di luar negeri sana. Boleh jadi kedua-duanya. Namun jika penasaran itu tinggal penasaran, tentu sangat disayangkan.

Rasanya ingin terbang ke Cannes untuk menyaksikannya. Karena ini mustahil, mungkin cukup dengan menyewa dan membeli DVD-nya. Tapi ternyata saya tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri atau menghabiskan puluhan ribu untuk membeli DVD. Di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, Jum'at 17 Agustus 2012, malam hari, saya sedang memencet-mencet remote televisi. Saya berhenti di layar KompasTV, ketika melihat tayangan film hitam-putih dengan gambar yang lumayan bersih. Berhubung menontonnya agak telat, saya tidak tahu apa gerangan judul film yang diputar itu. KompasTV belum meniru Trans TV, RCTI, dan Global TV yang menayangkan sesaat judul film di pojok atas layar, yang biasa muncul sesudah jeda iklan.

Meski begitu, saya langsung menduga ini adalah film Lewat Djam Malam yang mengundang rasa penasaran saya. Pertama, untuk ukuran film yang "terlalu jadul", gambarnya sangat bagus. Kalau kita biasa menonton film-film berwarna tahun 1970-an dan 1980-an diputar kembali di televisi, kualitas gambarnya terlihat buruk. Sesungguhnya saya belum tahu secara pasti bagaimana hasil restorasi sebuah film, namun dengan membandingkan sesama film jadul, dapat disimpulkan film yang bergambar bagus ini sudah direstorasi.

Kedua, saya juga sempat membaca beberapa resensi film tersebut. Film ini berkisah tentang seorang pejuang '45 yang idealismenya diuji ketika kembali dari medan perjuangan. Hanya ini yang saya tahu. Dan, cerita inilah yang dapat disaksikan di film berdurasi dua jam itu. Tapi, saya baru mendapat kepastian kebenaran dugaan saya tadi di bagian akhir film. Yakni ketika seorang tokoh dalam film mengatakan kata-kata "lewat jam malam"---yang tentu tak dapat dibantah sebagai judul yang diselipkan dalam dialog.

***

Menonton Lewat Djam Malam, saya sering tertawa kecil ketika mendengar dialog para tokohnya. Bagaimana tidak, sebagai seorang generasi muda---katakanlah begitu, saya merasa bahasa yang digunakan sangat kaku, jauh dari ukuran saat ini. Tapi di sinilah ironinya. Tertawanya saya bukanlah mengejek bahasa dalam film itu, melainkan menyayangkan film dan sinetron saat ini yang telah jauh menyimpang dalam penggunaaan bahasa Indonesia.

Saya tidak tahu seperti apa orang-orang di era 1950-an berbahasa Indonesia. Katakanlah bahasa Indonesia dalam film tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Tapi, kalau kita bandingkan dengan situasi sekarang, kita menemukan sesuatu yang berbeda.

"Dari mana dan hendak ke mana?"

Masihkah kita temui orang Indonesia menggunakan kata itu dalam sebuah film atau sinetron? Alih-alih kita akan lebih sering menemukan yang seperti ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun