Tanggal 20 Oktober 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengakhiri masa jabatan sebagai orang nomor dua di Indonesia.
Tepat 10 tahun silam, JK juga meninggalkan kursi serupa. Ketika itu, dia mengakhiri tugas sebagai pendamping Susilo Bambang Yudhoyono dalam kurun 2004-2009, sedangkan pada periode 2014-2019 pensiun menemani Joko Widodo.
Suasana hati JK pada 2019 barang kali berbeda dengan 10 tahun silam.
SBY-JK bercerai setelah keduanya berkompetisi sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014. Cerita menuju kontestasi itu pun diwarnai bumbu-bumbu ketidakmesraan.
JK sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dianggap terlalu superior mengingat partainya SBY, Partai Demokrat, pemain medioker di DPR. Pria asal Makassar itu bahkan dijuluki 'The Real President' yang menciptakan atmosfer matahari kembar dalam kepemimpinan bangsa.
Meski sadar peluangnya menang Pilpres 2014 tipis, JK jalan terus dengan menggandeng mantan Panglima ABRI Wiranto. Berbagai prestasi yang diklaim berkat tangan dingin JK, seperti perdamaian Aceh dan konversi BBM ke gas elpiji, tidak mampu meyakinkan pemilih.
Kondisinya berbanding terbalik tatkala JK mendampingi Jokowi. Pertarungan Pilpres 2014 menunjukkan JK menjadi faktor penting atas kemenangan tipis melawan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa.
Memang ada riak-riak dalam hubungan kedua orang itu selama 5 tahun. Namun, secara elektoral, Jokowi merasa JK adalah tandem yang tepat untuk mempertahankan kursinya. Kontras dengan SBY yang sejak jauh hari tak membutuhkan pemilik Grup Kalla tersebut.
Apa daya, UUD 1945 memang membatasi wakil presiden memangku jabatan lebih dari dua periode. Meskipun JK dengan malu-malu berupaya merombak pembatasan masa jabatan dengan mengajukan permohonan uji materi, strategi itu tidak membuahkan hasil.
Jokowi toh tidak meninggalkan JK. Sadar dengan pengaruh JK, Jokowi menunjuk bekas Menko Kesra itu sebagai Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Jokowi-Ma'ruf akhirnya berhasil memenangkan Pilpres 2019. Tak pelak, JK memiliki andil atas kesuksesan itu.