Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Wali Songo” Aceh

12 November 2012   04:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:35 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama puluhan tahun, Aceh tampak "kompak" di mata orang luar. Ketika mendengar nama kabupaten dan kota di Aceh---selain Sabang---pasti ada kata "Aceh"-nya: Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceh Utara, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dsb. Secara tidak langsung orang bakal mengira bahwa Aceh itu satu. Apakah satu sukunya, bahasanya, agamanya.

Padahal tidak demikian. Dia wilayah yang bernama Aceh Tenggra berdiam suku Alas dan Batak. Di Aceh Tengah bertempat tinggal suku Gayo. Wilayah Aceh Selatan terdapat sebagain orang Singkil yang di zaman Belanda dikategorikan sebagai orang Batak.

Setelah Reformasi, tampaklah ke permukaaan, pluralitas Aceh yang sebenarnya. Wilayah Aceh Tenggara mengalami pemekaran yang melahirkan kabupaten baru, Gayo Lues. Lazimnya praktek pemekaran, salah satu faktor pembentukan kabupaten/kota baru adalah kesamaan suku, etnis, dan agama. Tidak berarti bahwa semua orang Gayo misalnya hengkang dari Aceh Tenggara. Tapi faktor primordial tetap berperan meski di permukaan alasannya adalah ekonomi dan pemerataan.

Pada masa "kejayaan" Gerakan Aceh Merdeka, wilayah operasi mereka meliputi seluruh Aceh. GAM tidak hanya kuat di wilayah suku Aceh seperti Aceh Besar, Utara, Pidie, dan Aceh Timur. Namun hal ini pastinya hanya diketahui oleh orang yang tinggal di Aceh. Sedangkan orang luar akan menganggap semua wilayah Aceh ada GAM-nya. Tentu saja mereka yang bukan suku Aceh takut menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak mendukung GAM. Bisa-bisa nyawa mereka melayang.

Setelah GAM mau untuk turun gunung sejak 15 Agustus 2005, sedikit demi sedikit tampaklah bahwa sesungguhnya propinsi Aceh itu bukan satu. Pada masa gubernur Irwandi Yusuf sempat muncul wacana pemekaran propinsi. Propinsi baru itu bernama Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan. Tetap memakai kata Aceh memang karena faktor sejarah panjang yang tak bisa dihapus begitu saja. Tapi segera kelihatan bahwa dua propinsi ini hendak melokalisir orang Aceh asli dengan orang non Aceh.

Wacana ini segera ditolak oleh Irwandi karena bertentangan dengan MoU Helsinski yang berdasarkan "tapal batas" tahun 1959. Ini artinya sampai kapanpun wacana pemekaran propinsi akan terkunci selama dasar hukum tentang Aceh adalah MoU dan UU Pemerintahan Aceh.

Setelah kursi gubernur beralih ke tangan Zaini Abdullah dan Muzzakir Manaf, implementasi MoU itu makin ketat. Irwandi dianggap tidak menjalankan amana MoU serta UU PA seperti membuat qanun (perda) tentang wali nanggroe, bendera, dan lain sebagainya. Bagi Zaini yang mantan menlu GAM, ini lebih penting dari apapun.

Nah, minggu lalu DPR Aceh telah mensahkan Qanun Wali Nanggroe. Hampir semua orang, kecuali elit GAM, terkejut dengan isinya yang "mengerikan". Wali Nanggroe yang dalam UU PA didefinisikan sebagai "lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya" memicu kontroversial. Salah satunya adalah isi yang mencantumkan bahwa Wali Nanggroe harus orang Aceh dan bisa berbahasa Aceh.

Orang Gayo langsung menolak qanun tersebut. Mereka menganggap bahwa qanun tersebut diskriminatif karena tidak mengakomodasi suku-suku non-Aceh. Maka orang-orang yang selama ini menganggap Aceh itu adalah tunggal---dalam budaya dan bahasa---akan mengetahui bahwa sesungguhnya tidak demikian. Orang Gayo, Alas, Singkil nyata-nyata bukan suku Aceh. Mereka hanya tinggal di wilayah yang bernama "Aceh".

Jika kasus diskriminasi etnis ini terjadi di daerah lain, biasanya akan timbul wacana untuk pemekaran. Tapi hal ini tidak bisa terjadi di Aceh yang sudah dikunci dengan MoU Helsinki.

Seperti kita tahu MoU dan produk turunannya dalam UU PA tak lebih hanya akomodasi terhadap kepentingan orang GAM. Tapi, GAM tidak bisa dikatakan sebagai representasi kehendak rakyat. Seperti saya tulis sebelumnya, kekuatan GAM memang terdistribusi di seluruh Aceh, tapi pada dasarnya kekuatan intinya terletak di wilayah suku Aceh. Karena itu kalaupun bisa dianggap representasi, itu pun tidak mencakup keseluruhan Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun