Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Iklan Anti-“Jawa”

30 Mei 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_191511" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shuttersock)"][/caption] Mayoritas rakyat Indonesia adalah pemakan nasi. Tapi bagi beberapa orang, budaya yang sudah mendarah daging ini adalah beban. Berbagai cara diupayakan supaya orang Indonesia mengurangi---tentu untuk kemudian tidak lagi---mengonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Paling tidak inilah yang akhir-akhir ini memusingkan saya sebagai orang Indonesia, sebagai pemakan nasi. Betapa tidak, muncul iklan-iklan di media massa yang secara persuasif menyuruh orang Indonesia untuk mulai mencari makanan alternatif pengganti nasi. Tentulah upaya Kementrian Perdagangan itu dirasionaliasi sedemikian rupa. Salah satu contoh dikatakan kalori umbi-umbian dan roti lebih tinggi ketimbang beras. Jumlah kalori yang dihasilkan sepiring nasi bisa setara dengan beberapa gram singkong, misalnya. Hal ini lebih ekonomis tentu saja. Sebetulnya, siswa-siswi Indonesia sudah diajari di sekolahnya tentang fakta ilmiah tersebut. Sudah banyak pula penelitian yang membuktikan bahwa manusia pemakan selain nasi, seperti orang Eropa dan Afrika, jauh lebih bertenaga ketimbang orang yang memakan beras. Itu nyata sekali kita lihat di dunia olahraga. Bangsa Asia, yang umumnya makan beras, lebih "lembek" ketika bertanding dengan orang Eropa dalam  olahraga-olahraga macam sepak bola, bola voli, dan sebagainya. Kalau kita mau menggunakan logika itu, tentulah orang akan mudah terpengaruh. Hanya sayangnya, dalam kasus ini, kita tidak boleh mengingkari sejarah bangsa-bangsa dunia. Bangsa Indonesia dan bangsa Asia umumnya, sejak dahulu kala hidup di alam yang kaya dan beriklim bagus. Sedemikian kayanya, sampai-sampai, dalam tubuh bangsa kita sampai saat ini tertanam "gen malas" yang tidak biasa bekerja keras karena segala sesuatunya sudah disediakan alam. Hanya dengan melempar bibit padi ke sawah, maka dengan menunggu sambil tidur-tiduran, beberapa bulan ke depan bibit itu akan menghasilkan gabah. Proses mengubah gabah menjadi beras juga tidak susah. Maka beras inilah yang kemudian disimpan, atau dijual, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sedemikian identiknya dengan beras, orang-orang luar menamai pulau selatan khatulistiwa ini dengan "jawa dwipa" alias pulau padi. Sedangkan pulau yang sekarang kita kenal dengan nama "Sumatra" dinamai "swarna dwipa", pulau emas. Penanda betapa sejak zaman dahulu Sumatra sudah kaya dengan tambang emas dan lainnya. Ini berbeda dengan orang Eropa dan Afrika yang kondisi geografisnya membuat mereka perlu bekerja keras. Dus, energi yang lebih tinggi. Ditilik dari postur dan kebutuhan kerjanya, maka jelas mereka membutuhkan asupan energi yang lebih tinggi. Saya bisa bayangkan, kalau padi bisa tumbuh di alam seperti itu, maka orang Eropa akan jadi manusia yang "lemah gemulai". Saya sudah melantur ke sana-ke mari dengan asumsi-asumsi yang tak berdasar ilmu pengetahuan yang mapan. Namun setahu saya sampai sekarang pun tidak ada teori yang pasti tentang bagaimana asal-muasal penyebaran manusia di bumi ini. Jadi tak ada salahnya kita berspekulasi. Tapi poin penting yang saya ingin katakan adalah: beras atau nasi itu sudah sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia Indonesia ini. Bahwa kemudian bangsa-bangsa di dunia modern ini berinteraksi satu sama lain, yang kemudian dalam banyak hal budaya bangsa bukan pemakan nasi menjadi standar, maka mau tak mau bangsa pemakan nasi harus menyesuaikan diri dengan mereka. Dengan kata lain: supaya setara dengan mereka, maka tirulah mereka. Contoh paling nyata adalah sepak bola. Mengapa pemain Eropa, Amerika Latin, dan Afrika sangat kuat dalam olahraga yang lahir dari Inggris ini? Karena mereka bukan pemakan nasi. Orang Asia akan sulit bersaing dengan mereka kecuali barangkali harus hidup seperti mereka: tidak makan nasi. Seorang pemain asal Afrika yang musim lalu bermain di Persiba Bantul, Fortune Udo, pernah mengatakan, "Kalau saya makan nasi maka saya cepat lemas." Ini tentu hanya berdasar keadaan alami, karena toh sekarang sudah berkembang pemakaian sains dalam sepak bola. Tapi tentu akan lebih sulit dibanding orang-orang yang dari sononya sudah sesuai secara fisik. Selain kalori, dalih lainnya adalah soal produksi beras itu sendiri. Saya kira semua kita mengetahui bahwa sebagian beras yang kita konsumsi diimpor dari Thailand dan Vietnam. Konon katanya, lahan pertanian di Indonesia lambat laun menipis, sedangkan di saat yang sama konsumsi nasi meningkat. Saya pikir ini hanyalah soal kebijakan saja. Dahlan Iskan sebagai menteri BUMN pernah menulis di korannya di sini bahwa dalam satu hektar sawah di Jawa, hanya dihasilkan sejumlah 5,1 ton padi. Padahal masih bisa ditingkatkan hingga 7 ton. Selain itu Kementriannya akan mengupayakan pembukaan lahan sebesar 100 ribu hektar di Kalimantan. Mengapa sampai ada orang Indonesia asli yang berupaya agar orang Indonesia lainnya meninggalkan kebiasaannya? Seorang Gita Wiryawan, Menteri Perdagangan, berlatar belakang pendidikan Barat. Dia kuliah di universitas nomor 1 dunia, Harvard. Dia juga pernah bekerja di perusaaan asing. Saya tidak tahu apakah Gita tetap makan nasi di luar negeri sana. Tapi kelihatannya tidak. Kebijakannya ketika menjabat menteri saat ini tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya yang bernah hidup dalam budaya Barat. Selain Gita, seorang pejabat lain yang cukup gencar berkampanye untuk meninggalkan nasi sebagai makanan pokok adalah Wali Kota Depak, Nur Mahmudi Ismail. Dia pendiri dan presiden pertama Partai Keadilan yang sekarang bernama Partai Keadilan Sejahtera. Ideologi PKS adalah Islam yang sedikit banyak bersumber dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sudah tentu pandangan Nur Mahmudi bersifat transnasional dengan Timur Tengah sebagai rujukannya. Berbekal ideologi serta pengalaman hidupnya sebagai dosen dan ahli pangan lulusan Amerika, dia sama saja dengan Gita. Setelah menjadi pemegang kebijakan tertinggi di sebuah kota, maka keluarlah kampanye gila itu: "Sehari tanpa Nasi". Saya tidak tahu apakah orang Depok patuh. Tapi paling tidak kita bisa sedikit mengambil pengalaman bagaimana hebatnya kader-kader PKS meninggalkan kebudayaan dan kebiasaan bangsanya sendiri.  Meski yang satu ini tidak ada hubungannya dengan agama. Syukurlah, di samping dua orang ini, benyak pejabat kita yang merupakan orang Indonesia sejati. Presiden SBY adalah pemakan nasi. Dahlan Iskan yang juga membawahi Bulog dan PTPN sampai saat ini tidak pernah ada niat untuk mengajak orang Indonesia belajar meninggalkan beras. Justru sebaliknya, sadar bahwa kebiasaan ini tidak bisa diubah, baik kalau dipaksa apalagi cuma sebatas iklan. Daripada membuat iklan yang jelas-jelas habiskan uang negara, lebih baik uang itu digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Apalagi kesejahteraan petani akan meningkat pula. Berbeda kalau kita makan roti karena hampir seratus persen gandum diimpor dari luar negeri. Yang untung kan orang asing juga, bukan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun