Persatuan Sepak Bola Malang atau Persema adalah salah satu klub penggerak revolusi PSSI. Tapi bagi segelintir orang yang kemudian memperoleh kekuasaan di PSSI, jasanya yang besar itu dibalas dengan cacian: abal-abal, gratisan, bukan anggota, dan sebagainya. Padahal tanpa klub ini, orang yang bersangkutan mungkin masih di dunia antah-berantah dan tidak dikenal orang.
Tapi sudahlah, tidak ada gunanya menyebut orang-orang tersebut. Lagi pula, mereka sudah kembali ke haribaan tuan yang sesungguhnya. Mencari kendaraan lain yang bisa ditumpangi untuk kepentingan pribadinya.
Jasa besar Persema sebenarnya terlalu kecil jika cuma dihargai dengan kembali bermain di kasta tertinggi sepak bola. Dalam revolusi yang lazim di dunia ini, para penggerak revolusi biasanya selalu mendapat tempat terhormat. Sekalipun misalnya kemudian disingkirkan, tapi tokoh itu kemudian akan dianggap pahlawan. Sangat jauh dari caci maki dan buruk sangka.
Tapi inilah yang aneh dalam revolusi PSSI. Sering mengumbar kata-kata revolusi, tapi tidak paham revolusi itu binatang apa. Justru anehnya, orang-orang yang mengaku-ngaku ikut revolusi, tapi ngotot kembali memakai aturan-aturan keliru yang lahir di era sebelumnya.
Kalau memang inginnya kembali ke aturan atau kebiasaan lama, itu namanya RESTORASI. Ini mungkin salah satunya disebabkan kesalahan Partai Nasdem yang tidak pernah membuat definisi apa itu "restorasi" yang dijadikannya sebagai slogan. Jadi orang sama sekali tidak paham apa maksudnya, meski iklannya sangat masif di media massa.
Saya pikir pendukung PSSI dulu menggunakan kata "revolusi" karena paham benar apa artinya. Mereka konsisten dengan sampai sekarag. Jadi amat aneh kalau sampai ada orang yang mengatakan para pendukung PSSI itu orang bayaran, malah produk konsultan pemasaran segala. Saya jadi tertawa sendiri mendengarnya. Padahal setahu saya para pendukung PSSI (sebagai hasil revolusi itu) di kompasiana ini jauuuuuuuuuuuuh sudah lama menjadi anggota kompasiana dan sudah duluuuuuuuuuuuuuan mendendangkan revolusi sebelum dikenal namanya Djohar Arifin, Arifin Panigoro, dan sebagainya.
Sekiranya kita semua mau konsisten, saya ingin menyarankan kepada kawan-kawan pendukung "PSSI" agar mulai saat ini menggunakan istilah "Restorasi PSSI" saja. Saya kira istilah ini sudah cukup bagus dan menjelaskan semua yang mereka inginkan: kembali ke Kongres Bali, kompetisi bernama ISL, penyelengara liga PT LI, dan hak siar tetap 10 miliar rupiah (sebab yang 130 miliar itu hak komersial) bahkan untuk 7 tahun mendatang, pemain asing 5 orang, dan banyak lagi. Yang tidak sama barangkali cuma satu: tidak ada Nurdin Halid.
Revolusi itu tidak tercapai tujuannya jikalau cuma kepentingan sesaat. Revolusi lahir melalui sebuah pemikiran mendalam, konsep yang matang, dan perencanaan yang rapih. Â Dan itu pun hanya bisa berjalan dengan dukungan banyak orang. Tidak lagi berada dalam awang-awang sekelompok elit.
Tatkala banyak orang kemudian mendukung karena merasa kepentingannya telah sama, maka revolusi itu bisa berhasil ataupun gagal. Ada yang dibilas oleh penguasa de facto, ada juga yang kemudian mengambil alih kepemimpinan. Bagi jenis kedua, tantangan yang dihadapi jauh lebih berat. Sebab mereka harus membuktikan bahwa semua konsep yang dulu mereka tawarkan bisa terwujud. Dan ini tidak mudah.
Sekarang, pengurus PSSI tengah menghadapi hal yang berat itu. Dulu mereka gencar mengajukan konsep-konsep brilian sebagai solusi mengatasi kebobrokan rezim Nurdin Halid. Dimulai dari depolitisasi, menghilangkan korupsi, dan yang paling menarik tapi kelihatan tidak masuk akal: konsorsium, sebagai langkah awal menuju profesionalisme klub.
Konsep konsorsium dianggap tidak masuk akal karena pasti butuh biaya besar. Dengan biaya operasional klub yang sedemikian tinggi, dengan tiadanya pemasukan yang memadai, maka orang memprediksi konsorsium tidak bertahan lama. Secara otomatis, liga yang bersangkutan akan bubar dengan cepat.