Lalu bagaiman cara menyelesaikan konflik Libya ini? Saya tidak tahu. "Tidak pernah ada perang yang baik," kata Benjamin Franklin, "juga perdamaian yang buruk". Setidaknya Obama pernah mendengar kata bapak bangsanya itu. Tapi kita pun tahu bagaimana presiden Amerika sejak Perang Dunia II begitu percaya diri dalam mengumbar syahwat agresornya. Perdamaian bagi mereka ini belum diusahakan, tapi langsung ambil langkah perang yang tidak tahu bakal berakhir seperti apa.
Sayang sekali, Obama mengulangi tabiat buruk para penerusnya. Bukan seperti Franklin Roosevelt yang isolasionis ketika negaranya dalam krisis —padahal krisis ekonomi Amerika sekarang  konon terbesar setelah Depresi Besar tahun 1930-an —Obama malah ekspansif. Di Afganistan masih, kini Libya.
Saya bukan pendukung Khaddafi. Saya justru yakin dia bakal jatuh. Demokrasi itu keniscayaan sejarah. Kalau Khaddafi melanggar sebuah kepastian, sang waktu yang akan membuktikannya.
Yang jadi soal, mampukah rakyat Libya bersatu kalau si "anjing gila" sudah enyah? Saya kira hal inilah yang lebih penting. Mesin perang negara-negara barat mungkin mampu meluluhlantakkan Libya secara fisik, namun sesudah itu apa?
Satu-satunya yang pasti hanyalah seperti yang dipercaya selama ini: minyak! Rakyat Libya yang suku-sukunya terpecah itu kita tak tahu bagaimana jadinya nanti. Tunggu saja!