Mengerikan juga negeri ini. Hantu bernama teror masih saja menghampiri hidup kita. Baru setahun lalu kita saksikan teror di Kuningan disusul matinya gembong-gembong teroris membuat kita bahagia menanti tahun baru. Ternyata tahun 2010 sama saja. Markas teroris Aceh ditambah peristiwa Pamulang rupanya membuat kita perlu introspeksi kembali kenyamanan semu itu.
Kita bersyukur bahwa Densus 88 tampil di saat yang tepat. Entah itu tepat ketika Polri sedang terpojok karena berbagai kasus sehingga bisa mengalihkan isu para pejabatnya maupun tepat dalam menjalankan tugasnya. Dan kali ini di antara 2 ketepatan itu yang pasti mereka berhasil menambah zona kenyamanan kita dengan menggerebek sarang teroris ditambah bonus penangkapan residivis, Abu Bakar Ba'asyir.
Saya dulu sebenarnya menaruh iba pada seorang ustad kampung tapi bervisi kosmopolit tersebut ketika disidang dengan tuduhan terkait Jamaah Islamiyah (JI), namun hanya didakwa melanggar keimigrasian saja. Dalam setiap pembelaannya selalu dikatakan bahwa semua ini hanyalah rekayasa Amerika. Masuk akal memang. Bagaimana mungkin terlibat JI kalau hukumannya gara-gara kasus imigrasi belaka?
Namun setelah bebas saya jadi ragu sama sang ustad. Mencermati setiap pernyataannya yang kontradiktif mengenai pelaku teror saya simpulkan semua tuduhan itu ada benarnya. Bagaimana mungkin tindakan membunuh orang tak bersalah dikatakan hanya, " Saya yakin cara mereka salah" tapi di sisi lain pernah mengatakan " Jika engkau yakin dengan caramu, lakukanlah!"
Dia tidak pernah benar-benar mengutuk teroris malah semakin menyuburkannya di setiap acara di mana dia hadir sebagai pembicara. Saya masih ingat tayangan "Inside" di MetroTV yang menampilkan perjalanan keseharian dakwahnya. Dalam salah satu ceramah berbahasa Jawa dia mengatakan kurang lebih, " Beda orang kafir dengan orang muslim ialah kalau orang kafir itu hidup untuk bersenang-senang..." Dia menyamakan seorang manusia dengan hewan. Kita sudah tahu "kafir" yang didefinisikan sang ustad adalah orang-orang nonmuslim atau kalau benar-benar dia adalah Khawarij - seperti pernyataan Jafar Umar Thalib yang juga ditulis oleh seorang kompasianer di sini - maka orang-orang kafir adalah juga muslim yang tidak berhukum selain hukum Allah.
Bayangkanlah, seorang tokoh agama yang seharusnya penyeru kedamaian malah membentuk mindset para jemaahnya untuk membenci orang yang tak seideologi (seagama?). Bukankah jika pencucian otak itu berhasil maka kita bakal saksikan terus "syuhada-syuhada" yang rela membunuh orang yang di bumi ini hidup hanya untuk senang-senang belaka? Piculah dengan sentiment Irak, Afganistan, Palestina, maka  peristiwa teror tak akan pernah berhenti hadir di bumi Indonesia ini.
Jika sang ustad sudah sedemikian kuatnya menanam kebencian itu - dan juga dengan pernyataan lainnya terkesan membiarkan pelaku teror - apakah kita yakin bahwa apa yang dikatakannya terkait tidak terlibatnya ia dalam aksi teror adalah betul? Saya yang semula yakin bahwa penahanan sang ustad benar-benar permainan Amerika jadi ragu berkat tindak-tanduknya selama ini yang justru ingin menegaskan sebaliknya.
Polisi mengatakan penahanannya dilakukan karena ada bukti keterlibatan sang ustad atas kasus teroris Aceh. Sebelumnya polisi juga mengatakan bahwa Dulmatin terlibat di sana. Dulmatin sendiri adalah pelaku Bom Bali yang turut menyeret Amrozi, Ali Gufron, Imam Samudra. Ketiga orang tersebut pernah di Malaysia bersama Abu. Jika kita pakai logika biasa, maka kelihatan memang sangkaan polisi atas penahanan sang Abu ada benarnya. Yang dibutuhkan sekarang adalah kejujuran sang ustad atas semuanya.
Pertanyaannya, apakah dia mau untuk jujur? Saya yakin tidak. Bagaimana mungkin orang yang membunuh orang lain saja dibenarkan tapi mau untuk mengakui keterlibatannya selama ini. Jika sekali lagi dia menggunakan prinsip Khawarij yang menghalalkan segala cara - membunuh adalah puncaknya - itu betul maka berbohong demi apa yang mereka sebut perjuangan itu tentu lumrah juga. Toh bagi dia bersumpah di atas Al Quran di pengadilan yang bukan berdasarkan hukum Allah - meski tetap menggunakan nama-Nya - sepertinya tidak apa-apa. Bagi orang-orang seperti itu sumpah atau ucapan yang benar hanyalah ketika apa yang mereka sebut hukum Allah itu diterapkan. Selama belum, maka tidak ada kewajiban menaatinya.
Kalaupun selama ini berbuat baik mungkin itu sejalan dengan teori almarhum Satjipto Rahardjo lewat gagasan "hukum adalah perilaku"-nya. "Tanpa hukum formal seseorang bisa tetap berbuat baik karena ada aturan hidup semisal moral, adat, agama yang mengaturnya," demikian kurang lebih kata Prof Tjip. Tapi Ustad Abu dan para pengikutnya bukanlah menciptakan kedamaian, melainkan teror. Apakah jika Prof Tjip masih hidup dia bakal mengatakan cara "berhukum" yang dicanangkan si Abu itu benar? Entahlah, karena gagasan hukum progresifnya sendiri banyak ditentang oleh sesama koleganya ahli hukum.
Seandainya tujuan akhir Abu Bakar Baasyir adalah membuat Negara dengan hukum Islam di dalamnya mengapa terjun ke politik praktis saja? "Wah, Itu kan 'sistem kafir', buatan manusia." Meski begitu dia sebenarnya diuntungkan dengan sistem tersebut. Tapi sampai sekarang dia tidak pernah mengucapkan sedikit pun terima kasih pada sistem Demokrasi yang membuat dia bisa kembali ke tanah airnya tanpa harus takut dikejar-kejar oleh rezim diktator. Kita bisa dapatkan jawabannya sendiri. Dan itu pula yang membuat saya ragu kalau dia bakal jujur. Mengucapkan terima kasih saja  yang dianjurkan agama saja nggak, apalagi jujur karena bisa mengancam perjuangannya. Tapi saya tetap berharap seorang ustad mau melakukan itu di usia rentanya.
Kalau Amerika terlibat, saya juga akan sama-sama katakan go to hell (persetan)! Tapi kalau berbohong, guru ngaji tanpa level ustad biasa bilang, "Nanti masuk neraka!" sama murid-muridnya yang polos. Entahlah bagi si Abu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H