Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompas Kampus

2 Agustus 2010   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sudah lebih sebulan ini harian Kompas mengeluarkan rubrik terbaru menjelang ulang tahunnya yang ke-45, 28 Juni yang lalu. Saya awalnya merasa senang Kompas mengapresiasi pembacanya di segala segmen usia, dari anak TK serta SD, remaja SMA, dan terakhir generasi muda di perguruan tinggi. Tapi, semakin bertambah minggu, saya merasa kecewa tampilan maupun isinya.

Ketika pertama kali diluncurkan saya senang akan tulisan seorang mahasiswa dari Bali yang memang khas mahasiswa. Saya pikir bahwa kelak Kompas Kampus juga akan berisi opini-opini mahasiswa yang memang masih "panas" akan idealismenya. Ternyata, minggu-minggu berikutnya formatnya berubah. Mahasiswa hanya diberi ruang di kolom kanan yang jumlahnya hanya beberapa karakter mengenai suatu topik yang ditawarkan seminggu sebelumnya.Tulisan utamanya yang sebelumnya opini berubah menjadi liputan khas wartawan.

Sadar akan hal itu, saya tidak terlalu semangat lagi membaca rubrik Kompas Kampus itu. Saya hanya membuka sekilas lalu melewatkannya. Entah bagi mahasiswa yang lain yang pastinya mempunyai selera yang berbeda. Bagi saya topik-topik life style yang ditawarkan itu jelas bukan selera saya.

Lalu apakah saya hanya bisa mengkritik dan tak memberi saran? Tidak! Yang saya harapkan dari Kompas Kampus adalah mengakomodasi semua jenis selera mahasiswa yang punya berpuluh-puluh atribut seperti agent of change, social control, dsb itu. Tidak semua mahasiswa hanya memperhatikan tempat kos, jalan-jalan ke mall, kantin dan rutinitas lainnya. Banyak juga yang sibuk memperhatikan aspek sosial, budaya, politik, yang hanya kuat dalam suara tapi lemah dalam tulis-menulis. Mereka umumnya lahir dari kondisi ekonomi yang kurang mampu, lingkungan yang keras, dan tampilan yang semraut.

Bagaimana mengakomodasi mereka? Saya sarankan kepada Kompas Kampus untuk mengadakan pelatihan tulis-menulis di tiap kampus. Selain itu saya juga berharap Kompas Kampus bisa jadi corong bagi keilmuan perguruan tinggi Indonesia yang multidisiplin. Buatlah kolom teknologi yang diperuntukkan bagi mahasiswa teknik dan kampus teknologi, kolom pertanian bagi fakultas pertanian, kolom sosial dan politik untuk mahasiswa sospol, bahkan kalau bisa bagi mahasiswa UIN yang mempunyai pemikiran cukup progresif.

Jujur, di media-media mainstream, sangat sedikit bahkan hampir tidak ada yang pernah menampung suara mahasiswa baik di kolom tetap seperti opini maupun kolom khusus mahasiswa. Satu-satunya harian nasional yang ada hanyalah Seputar Indonesia yang dulunya rutin tapi sekarang jadi tidak menentu hadirnya. Kompas Kampus bisa menjembatani itu dan memang begitu saya mulanya dulu berpikir. Tapi entah karena memang tulisan mahasiswa kurang bagus atau bukan "standar kompas", formatnya jadi berubah. Hanya cuap-cuap sepintas yang sebenarnya kurang bisa mewakili kadar intelektualistas mahasiswa yang bersangkutan.

Saya maklum bahwa tujuan Kompas Kampus salah satunya untuk menyiapkan pembaca Kompas ke depan alias regenerasi pembaca. Tapi, sedari awal saya sudah pesimistis itu bakal terwujud. Di kalangan teman-teman saya mahasiswa, pembaca kompas sangat sedikit. Mereka lebih memilih koran regional Surabaya yang katanya, "Bahasanya mudah dimengerti!"Itu mahasiswa! Bagaimana lagi dengan yang nonmahasiswa? Entahlah, saya tidak tahu.

Saya sudah 2 minggu tidak baca Kompas karena sedang Kerja Praktek (KP). Di institusi KP, akses internetnya lambat. Kalau ke warnet, harganya jauh dari normal. Beli eceran, uang makan saja tidak cukup. Tapi saya yakin kelak jika sudah berpenghasilan saya bakal berlangganan Kompas atau minimal tak berhenti membacanya karena terlanjur cinta. Bagaimana dengan mereka yang sejak mahasiswa saja tidak membaca koran ini? Mungkin - dan semoga mungkin -  Kompas bukan lagi koran dengan oplah terbesar,  dikalahkan koran kegemaran teman-teman saya yang menurut survey, "paling banyak pembacanya di Indonesia". Semoga tidak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun