Era 2004-2009 mungkin bisa dikatakan era "habis gelap terbitlah terang". Bali meledak Oktober 2005, tapi sebulan kemudian Doktor Azhari tewas di Malang. Harga BBM naik tiga kali, tapi tiga kali juga turun. Pemerintah semakin banyak pinjam uang, tapi akhirnya melunasi hutang IMF.
Keberhasilan SBY juga dipengaruhi JK yang mengambil alih Golkar pada Munas 2004 dan membawa partai Orde Baru itu masuk koalisi pemerintah. Dia juga arsitek perdamaian dan penggagas konversi minyak tanah ke gas elpiji.
Namun, dua orang yang tampak serasi ini pecah kongsi juga. SBY lihai menurunkan BBM tiga kali menjelang pemilu, juga bermain cantik menyangkut penahanan besannya, Aulia Pohan.
Semua itu termanifestasi pada elektabilitasnya menjelang Pemilu Legislatif 2009. Demokrat menang besar, raup 21 persen suara mengalahkan Golkar yang cuma raih 15 persen. SBY akhirnya berkesimpulan tidak lagi butuh JK pada Pilpres 2009, padahal sang RI-2 tetap berharap bersama-sama.
Hasil survei menyebutkan dirinya akan menang di atas 60%---bahkan ketika dipasangkan dengan sepatu sekalipun---membuat SBY bebas memilih wakil yang tidak dapat menyaingi pesonanya. Boediono, Gubernur Bank Indonesia, dipilih mendampinginya.
SBY bersama Boediono (SBY Berbudi) terbukti menang satu putaran, mengalahkan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo Subianto. Banyak orang percaya periode kedua SBY akan lebih berhasil. Pasalnya, koalisinya menguasai 55 persen kursi parlemen, yang kemudian bertambah 75 persen berkat kehadiran Golkar.
Tapi rupanya tetap tidak mudah. SBY langsung menghadapi dua masalah besar: kriminalisasi pimpinan KPK dan skandal Bank Century. Media menggoreng Century. Boediono diancam pemakzulan. Bahkan Sri Mulyani harus menepi ke Bank Dunia agar selamat dari rongrongan anggota parlemen.
Kekuasaan mutlak Demokrat membuat kadernya keblinger. Satu persatu masuk ke pusaran korupsi. Tanpa henti pers memberitakannya hingga citra partai tersebut runtuh, meski tidak sampai hancur.
Tulisan ini tentu bukan dimaksudkan untuk menceritakan semua cerita di era SBY melainkan sekedar catatan kenangan selama 10 tahun ini berada di bawah pimpinannya.
Menurut saya, kelemahan terbesar SBY adalah karakternya yang pada saat-saat tertentu misalnya, ogah mengambil keputusan dengan cepat. Pada awal pemerintahan 2005, dia sempat mengatakan, "I don't care about my popularity".
Tapi yang sering tampak justru sebaliknya, dia urung mengambil keputusan yang dianggap baik karena takut menggerus popularitasnya. Menaikkan BBM misalnya. Pun kurang tegas menghadapi Malaysia yang hendak mencaplok Ambalat karena takut tekanan internasional.