Di kandang ayam ini aku termenung bersama ratusan lainnya yang bernasib sama sepertiku. Di tepat pengap kotor dan penuh bau tidak enak seperti ini aku terpekur mengenang masa kejayaanku dulu. Masih hangat di ingatanku saat aku masih muda belia, aku berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, aku dipilih-pilih, di antara kami di cari yang terbaik. Kemudian saat masaku tiba aku di buatkan tempat khusus, peraduan yang khusus, bahkan di pagari untuk menjauhkanku dari hewan pengganggu. Setelah beberapa minggu dan siap dengan perasaan riang aku di cabut dan di pindahkan ke tempat baru yang lebih luas, kami hidup berkelompok kurang lebih lima-lima. Dan jarak kelompokku dengan para tetangga kurang lebih satu jengkal manusia. Aku hidup gembira disana dulu, angin sepoi membelaiku setiap waktu..makananku tak pernah terlambat di berikan oleh tuanku..bahkan aku di mandikan cairan wangi yang membuat binatang mungil melata tak lagi mencintaiku. Pula tuanku menyempatkan waktu untuk membuat hantu-hantuan dari pakaian rusak, yang belakangan aku tau itu untuk mengusir binatang terbang dan sejenisnya. Aku tumbuh bahagia di sana sampai beberapa kali purnama, namun aku tak ingat pasti berapa purnama aku disana. Aku sengaja tak menghitung, karena aku tak ingin mengetahui waktuku disana tinggal berapa lama lagi sisannya. Itu karena aku jatuh cinta dengan purnama, ia begitu setia menemaniku di malam hari bersama cahaya kunang dan suara kodok. Sekarang seharusnya masa keemasanku, karena akan tiba sudah kemanfaatanku yang sesungguhnya…aku ingin merasuk kedalam raga insane, membersamainya menjadi tenaga untuknya dan menjadi bagian dari hidupnya yang gagah dan cantik. Namun kini harapan itu musnah sudah, sebenarnya hampir saja aku melonjak kegirangan saat sendok itu nyaris mengangkutku di suapan terakhirnya sesaat sebelum ia selesai makan. Aku bersedih, mungkinkah hidupku yang hanya sekali ini rasanya tidak enak? Hm…aku kembali di titik termenung ini..sekarang aku hanya sisa. (Tepat saat ia bergumam kata SISA, saat itu seekor ayam betina mematuknya, sang butiran nasi; ia memang sisa..namun ia lebih beruntung di bandingkan beberapa kawannya yang mengakhiri hidup di onggokan sampah plastik) Kamis, 27 Mei 2010 oleh Pakdhe Samboga The Farmer, Di persembahkan untuk anak-anakku tersayang… “maemnya di abisin ya Nak…!” ^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H