Kemarahan Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6) lalu, ditafsirkan bermacam-macam oleh banyak kalangan setelah menonton rekaman rapat yang ditayangkan oleh akun Youtube Sekretariat Presiden pada Minggu (28/6) kemarin.
Sebagian pihak menilai, kemarahan Presiden Jokowi itu merupakan sinyal kuat akan adanya pergantian menteri di kabinet (baca: reshuffle). Sebab dalam pernyataannya Presiden menyebut akan membubarkan lembaga atau mengganti menteri jika langkah extraordinary tidak segera diambil.
Perbincangan seputar itu pula yang akhirnya mewarnai acara Indonesian Lawyer Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas. Pembahasan tentang reshuffle kabinet ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya, Akbar Faisal, Effendi Gazali, Faisal Basri, Ali Mochtar Ngabalin, dan Sujiwo Tejo.
Akbar Faisal dengan lantang mengatakan bahwa menteri-menteri saat ini kurang koordinasi. Sehingga kesannya Presiden tidak mendapat dukungan dari para pembantunya.
Selain itu, Akbar Faisal juga membeberkan, bahwa kualitas menteri pada periode ini sangat tidak berbobot dibanding susunan kabinet pada periode pertama.
Oleh karena itu, dirinya meminta Presiden untuk tidak segan-segan melakukan reshuffle kabinet. Bahkan kalau perlu separuh dari menteri saat ini diganti.
Pernyataan Akbar Faisal ini sebenarnya lebih mirip sebagai ungkapan politisi dibandingkan sebagai pengamat politik yang jernih. Pasalnya, dia membicarakan kinerja para menteri tanpa satupun indikator yang terukur.
Seharusnya dia mengomentari performa seorang pejabat publik seyogianya dilandasi oleh pengukuran yang jelas. Karena kinerja itu bisa dikuantifikasi. Bisa diriset.
Jika tanpa itu, maka penilaian biasanya hanya berdasarkan suka atau tidak suka (like and dislike). Kalau ini yang dikedepankan, maka tak bisa diterima akal sehat bila dia menyebut para menteri bobrok.
Sederhana saja untuk membantah Akbar Faisal, ucapan yang ia lontarkan itu ukurannya apa?
Oleh karena itu, ungkapan Akbar Faisal itu lebih mirip politisi yang sedang mencari panggung, alih-alih obyektif. Mungkin dalam pikirannya, siapa tahu dia bisa mendapatkan celah, atau minimalnya, dapat untung jika ada menteri yang tersandung.
Hal ini jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh masyarakat Bugis. Yang notabene Akbar Faisal sendiri adalah orang Bugis dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Dengan cara nyinyirnya seperti itu, Akbar tidak cocok dengan nilai "sittinaja" atau kepatutan. Dalam konsep sitinaja, kepatutan ini berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan sesuai dengan porsinya.
Konsep sitinaja dalam suku Bugis membuat masyarakatnya harus mampu menempatkan dirinya sesuai kedudukan. Misalnya berbicara sesuai dengan porsi dan ukurannya, tidak ngibul dan seenaknya sendiri.
Apa yang dilakukannya sungguh menciderai nilai-nilai luhur Bugis yang ada. Ia mengabaikan sopan santun dan rasa kepatutan hanya demi "mungkin" panggung politik.
Padahal kalau dipikir-pikir, reshuflle di masa seperti ini justru sangat riskan. Karena perombakan kabinet dapat menganggu keberlangsungan kebijakan yang telah berjalan. Apalagi saat ini semua pihak sedang fokus mengatasi dampak krisis.
Oleh karena itu, alih-alih sebagai penghukuman, ungkapan Presiden Jokowi terkait reshuffle itu sepertinya lebih sebagai pengingatan. Harapannya agar para menteri bisa bekerja lebih baik dan cepat.
Sangat wajar jika pemimpin itu memacu anak buahnya dengan berbagai cara. Presiden Jokowi mungkin menggunakan lecutan 'reshuflle' agar semua menteri bisa bekerja optimal sesuai harapannya.
Yang jelas, semua itu demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H