Awal ’90-an kita sempat dikejutkan dengan adanya berbedaan Hari Raya Idul Fitri oleh PP Muhammadiyah. Berhubung PP Muhammadiyah adalah ormas yang besar, walhasil terbagilah masyarakat kita dalam dua golongan saat merayakan hari Raya Idul Fitri: golongan pengikut NU dan Muhammadiyah. Serta sebagian lagi adalah golongan yang mengikuti keputusan pemerintah apapun asal ormasnya. Untuk golongan yang terakhir ini, kebanyakan mengacu pada salah satu ayat yang memerintahkan untuk taat pada pemimpin.
Awalnya, perbedaan tersebut sering kali menimbulkan kontroversi dan mereka yang belum dewasa dalam menyikapi perbedaan sering menjadikan perbedaan tersebut sebagai ranah untuk saling menyalahkan dan menganggap benar golongannya sendiri. Namun secara perlahan, kita mulai membiasakan diri dengan perbedaan ini.
NU sebagai ormas keagamaan terbesar Indonesia juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam keputusan-keputusan yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sehingga hasil sidang Isbat lebih condong pada Nu ketimbang Muhammadiyah.
Ada sebagian golongan yang memang memiliki landasan yang kuat untuk memilih berlebaran mengikuti fatwa NU atau Muhammadiyyah. Sebagian lagi, lebih memilih mana lebaran yang tercepat. Golongan yang terakhir hanyalah golongan yang ikut-ikutan yang hanya ingin mempercepat ibadah Ramadhannya. Untuk golongan yang terakhir, saya hanya bisa menyayangkan karena belum bisa beribadah dengan landasan yang kuat.
Tahun ini kita kembali dikejutkan dengan adanya perbedaan awal Ramadhan dengan jeda satu hari antara NU dan Muhammadiyah. Sebagian golongan yang kurang bisa menerima perbedaan cukup tercengang dengan keberanian Muhammadiyyah menambah satu poin lagi perbedaan. Bahkan kini Muhammadiyah juga tidak mau dilibatkan dalam sidang Isbat penentuan tanggal 1 Ramadhan/1 Syawal.
Saya menjadi golongan yang cukup mengambil hikmahnya saja di sini. Hikmah yang pertama, tentunya hal ini dapat membiasakan diri kita dengan perbedaan serta menghormati golongan-golongan yang berbeda dengan kita. Karena perbedaan (khilafiyah) dalam Islam sudah dimulai sejak zaman para Sahabat Nabi Saw. Jadi justru orang-orang yang tidak mempelajari sejarahlah yang merasa aneh dengan perbedaan ini.
Hikmah yang kedua, karena banyak orang yang merasa dibingungkan dalam menentukan malam-malam ganjilnya, maka menurut hemat saya, lebih baik anggaplah seluruh malam di bulan Ramadhan adalah malam ganjil. Misal malam ini adalah malam ganjil berdasar keputusan Muhammadiyah, maka esok juga malam ganjil berdasar keputusan NU.
Terasa oportunis memang. Tapi tidak ada salahnya kalau dalam ibadah kita menjadi oportunis seperti ini. Karena dengan ini, kita bisa beritikaf dan mengharap datangnya Lailatul Qadar di tiap malam pada sepuluh malam terakhir. Ini justru membuat kita jadi semangat beribadah ketimbang jika hanya meyakini malam ganjil berdasar salah satu ormas di atas.
Bukankah dengan ini ibadah yang kita lakukan jadi lebih banyak karena kita tak lagi memusingkan mana malam ganjil dan mana malam genap?. Lagi pula, bukankah Lalatul Qadar juga pernah turun di malam genap?
Dan bukankah tanpa memusingkan versi mana malam ganjil yang tepat, kita dapat mengikhlaskan ibadah kita? Jadi tidak semata-mata mencari malam Lailatul Qadar, tapi justru upaya diri kita untuk terus-menerus mendekatkan diri pada Zat Ilahi. Bukankah ikhlas adalah derajat tertinggi dalam beramal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H