"Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir orang"
Bunyi plesetan undang-undang di atas terasa justru lebih menggambarkan kepribadian bangsa Indonesia ketimbang isi dari UUD'45 yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan kondisi yang terjadi begitu marak di Indonesia adalah seperti itu. Secara psikologis, bangsa kita kebanyakan memang hanya menyukai mengambil sebagian saja dari nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai ini haruslah nilai yang sesuai dengan kepribadian mereka: tidak rela berkorban, tidak mau gotong royong, mau menang sendiri, mau enak sendiri, tidak mau disalahkan, dll. Sungguh, sebenarnya nilai-nilai inilah yang jauh lebih tertanam di hati sanubari bangsa Indonesia dibanding dengan nilai-nilai moral yang selama ini kita dapat di sekolah.
Nilai kebersamaan, saling tolong-menolong, tenggang rasa dan tepo seliro, sebenarnya pernah terjadi di Indonesia, tapi bukan di era sekarang. Apa yang dialami jauh lebih membekas dibanding dengan apa yang diajarkan. Era ini adalah era di mana rakyat mencurahkan rasa sakit hati yang selama ini tertanam pada pemerintah.
Ada sebagian orang yang jika memiliki masa lalu teraniaya maka ia berjanji tidak mau menganiaya orang lain karena ia mengalami sakit dan tidak enaknya dianiaya. Namun ada sebagian orang yang justru merasa benar dengan perilaku aniaya yang ia dapatkan sehingga ia juga kerap berprilaku aniaya terhadap orang lain, dan inilah yang marak terjadi di negeri kita. Begitu lama bangsa ini diajarkan untuk tidak melawan (membiarkan diri tertindas dan membiarkan melihat pihak-pihak tertentu menindas dirinya secara ternag-terangan) dan cenderung menumpas habis hal-hal yang terlihat seperti sampah.
Maka tidaklah mengherankan jika kepribadian para penindas justru diwariskan kepada bangsanya. Kepribadian seperti ini akan terus-menerus ada karena sebagian menjadi membenarkan perilaku aniaya seperti itu karena telah sekian lama kita diperlakukan seperti itu. Selain itu, tatanan pemerintahan yang ada masih saja menggunakan orang-orang sama (turunannya) dan juga orang-orang yang tidak memiliki kepribadian pembaharu.
Banyak kalangan yang kahwatir dengan pembaharuan yang dilakukan secara total, namun justru langkah yang dianggap menjadi langkah terbaik menghasilkan tatanan pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan orde baru. Maka fenomena-fenomena yang semestinya hanya terjadi di era orde baru pun menjadi sah-sah saja terjadi di era sekarang.
Di era reformasi ini, pemerintah masih saja bisa mengatasnamakan "hak milik pemerintah" untuk kepentingan yang tidak memihak rakyat, bahkan sering kali tidak diketahui juntrungannya. Belakangan, fenomena penggusuran yang kian marak terjadi hanyalah menunjukkan bahwa rakyat kecil sama sekali tidak memiliki jaminan hidup di negeri ini. Hal ini justru sangatlah bertentangan dengan isi pasal 33 UUD'45. Bukankah ini berarti adalah pelanggaran HAM yang tengah di lakukan oleh oknum-oknum pemerintahan?
Sering kali diberitakan bahwa ada sejumlah rumah yang terpaksa harus dihancurkan karena katanya rumah-rumah itu didirikan di atas tanah milik pemerintah. Di sisi lain, ternyata para korban penngusuran tersebut ternyata memiliki surat-surat resmi terhadap tanah yang ditinggalinya. Jika diajukan ke pengadilan pun, sudah pasti yang dimenangkan adalah pihak pemerintah. Seaindainya memang benar tanah tersebut milik pemerintah, lalu di mana hak hidup yang sudah dijamin oleh pasal 33 UUD'45? Bukankan sebaiknya hapus saja pasal 33 dan pasal-pasal lain yang tidak sesuai sengan kepribadian bangsa kita terutama yang menyakut kepemerintahan serta buat pasal-pasal baru yang justru sesuai dengan model pemerintahan kita kini? Mengapa pemerintahan bangsa ini senang sekali berprilaku munafik, yang senantiasa menjadikan kebaikan hanyalah gincu di atas kertas.
Di atas negeri yang begitu luasnya sehingga banyak lahan yang menganggur, tanah-tanah yang ada terasa begitu sempitnya. Mengapa pemerintah terasa begitu egois terhadap kepentingan rakyatnya? Seandainya memang di atasnya dibangun bangunan untuk kepentingan rakyat banyak, bukankah sebaiknya tidak dibangun dengan mengorbankan sejumlah tempat tinggal yang telah ada di atasnya? Bukankah di sini semestinya pemerintah menyadari bahwa sistem tata ruang kota dan negara yang diterapkan sudah sedemikian fatal kesalahannya? Memang, pembenahan terhadap tata-ruang kota tidaklah dapat dilakukan secara langsung keseluruhannya. Namun, setidaknya, jika ingin membangun bangunan, janganlah dengan mengorbankan tanah tempat tinggal rakyat yang mereka ternyata mereka juga memiliki surat resmi atas kepemilikan tanahnya.
Sudah saatnya pemerintah membangun lahan-lahan yang sudah sekian lama menganggur seperti yang terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Lahan-lahan yang dibangun juga semestinya tidak hanya untuk kepentingan bisnis semata. Setidaknya, dengan dibangunnya lahan-lahan tersebut, maka seluruh kegiatan negara dan bangsa tidak hanya terfokus di kota-kota besar saja semisal Jakarta. Mengapa pemerintah kita cenderung lebih mudah berkorban untuk kepentingan asing dari pada kepentingan bangsanya? Bukankah yang memperjuangkan negeri ini adalah anak bangsa ini ketimbang pihak-pihak asing?
Dan bukankah kita juga tau bahwa pihak asing hanyalah ingin menyedot habis-habisan kekayaan negeri ini? Di sinilah letak lemahnya pemerintahan kita. Mereka menginginkan hasil yang terlihat langsung di depan mata mereka padahal pemerintah tidak menyadari bahwa hasil yang mereka dapatkan hanyalah untuk sementara, dan setelah itu kehancuran sudah menanti. Kasus-kasus seperti ini sebenarnya sudah terlalu lama dan terlalu sering berulang-ulang hingga hanya menyisakan muak bagi sebagian besar rakyat Indonesia.