Mohon tunggu...
Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Hobi membaca dan menulis

Mukim di Kebumen. Karya tulisnya tersebar di berbagai media cetak dan online, lokal hingga nasional seperti Kompas Anak, Republika, Jawa Pos, Koran Jakarta, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Merapi, Minggu Pagi, Lampung Post, Analisa, Bangka Pos, Kartini, Nova, dll.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Traveling Membawa Nikmat

23 September 2014   00:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:54 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang yang berprofesi ‘tukang jalan-jalan’ sambil sesekali menulis, pengalaman Trinity menjelajah lebih dari 2 dekade serta kepiawaiannya menulis menjadikannya ikon di dunia traveling. Saat ini, ia menjadi salah satu travel writer paling berpengaruh di Indonesia, dengan 8 buku travel yang masuk dalam jajaran best-selling nasional.

Dulu, Trinity adalah “mbak-mbak kantoran” yang memiliki sebuah travel blog pertama di Indonesia yang beralamat di naked-traveler.com. Dari kali pertama mulai blogging tahun 2005 silam, dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun saja blognya sudah dinominasikan sebagai finalis Indonesia’s Best Blog Awards.

Saat ini buku The Naked Traveler telah mencapai sekuel ke-4 dan kumpulan kisah perjalanannya di Indonesia telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Naked Traveler, Across the Indonesian Archipelago. Selain nge-blog, ia masih sering menulis untuk berbagai majalah dan menjadi pembicara.

Pada Oktober 2012 sampai Oktober 2013, ia berhasil jalan-jalan keliling dunia dengan menggunakan paspor RI. Hingga saat ini, ia telah mengunjungi hampir semua provinsi di negeri ini dan 64 negara di dunia. Perjalanan gilanya bisa dipantau melalui Twitter/Instagram @TrinityTraveler!

Banyak orang salah mengerti tentang alasan penulis memberi judul ‘The Naked Traveler’. Dikira cerita tentang orang yang jalan-jalan sambil telanjang, hehe. Padahal, tak ada yang porno. Ia sengaja memilih nama (judul) yang eye-catching dan ear-catching. Namun, filosofinya lebih dari itu. Ia ingin menampilkan tulisan perjalanan yang ‘naked’ alias “jujur, apa adanya”.

Selama ini, tulisan perjalanan di media kebanyakan berisi tentang hal yang indah-indah saja. Padahal, traveling itu tak selalu enak dan nyaman. Suatu tempat tidak selalu indah dan bagus. Kenangan perjalanan yang paling ia ingat justru bukan tentang keindahan arsitektur suatu bangunan atau putihnya pasir pantai, melainkan pesawat yang delay atau orang lokal yang tidak ramah. Pengalaman yang sering tidak terduga saat melakukan perjalanan adalah jauh lebih berwarna.

Penulis mengaku, sudah pergi ke hampir seluruh provinsi di negeri ini dan keliling dunia menggunakan paspor RI. Tak heran jika iaa kerap dituduh orang kaya-raya, kerjanya jalan-jalan melulu. Padahal, ia awalnya hanyalah ‘mbak-mbak kantoran’ biasa. Semuanya karena traveling is my passion. Motivasinya bekerja dengan baik dan mengejar karier adalah agar ia mendapat uang lebih banyak untuk jalan-jalan, hehe.

Baginya, tidak ada tempat yang bagus atau jelek. Ia selalu berusaha membuka kelima indranya untuk merasakan sesuatu yang baru dan menikmatinya. Ia bahkan bisa saja nongkrong di pinggir jalan hanya untuk memperhatikan orang berpakaian, berjalan, berbicara, berjualan, atau sekadar menikmati harum roti yang tengah dipanggang, atau aroma kopi panas.

Banyak orang berpikir, bahwa jalan-jalan itu harus ke luar negeri. Padahal, negeri kita ini sangat luas dan indah. Dengan lebih dari 17.000 pulau, kalau sehari ke satu pulau di Indonesia saja, dalam setahun tentu tidak bakal habis dijalani.

Banyak alasan mengapa kita bisa saltum (salah kostum) saat traveling. Terutama jika traveling dalam waktu cukup lama dan ala backpacker pula. Kejadian saltum paling bodoh ketika penulis ingin pergi ke Bukit Bendera (Penang Hill, Malaysia) yang konon pemandangan dari atas sana sangat spektakuler, bisa melihat panorama Kota Georgetown, Penang Bridge, dan Selat Malaka sekaligus.

Dalam buku panduan yang pernah dibacanya, di sana suhunya mencapai 5˚C. Atas dasar itulah ia bela-belain pakai baju tebal (celana jins, kaus dobel, jaket, topi, kaus kaki dan sepatu) karena alergi dengan udara dingin. Ternyata setiba di sana, cuaca sangat terang benderang, tidak dingin sama sekali, dan tak ada satu orang pun yang mengenakan baju setebal dirinya.

Kejadian saltum paling memalukan juga pernah dialami saat ia bersama 2 teman menyewa kapal nelayan untuk keliling pulau-pulau kecil tak berpenghuni di sekitar Honda Bay, Filipina. Sepulangnya dari sana, mereka bertiga malas menumpang mandi plus ganti baju, sehingga mereka hanya berbikini naik becak motor roda 3 menuju Puerto Princessa. Perjalanan yang katanya 15 menit mereka anggap sepele dengan hanya berbikini, hitung-hitung sambil mengeringkan badan, lagian mereka berada di tengah hutan belantara yang jarang ada orang.

Sepanjang perjalanan mereka asyik mengobrol, sampai kemudian tersadar ketika banyak cowok yang menyuiti mereka bertiga. Mereka kaget saat laju becak makin melambat, dan di sekelilingnya penuh dengan kendaraan mengantre. Ternyata o ternyata, mereka telah berada di tengah kota yang lagi macet bertepatan dengan jam pulang kantor. Habislah mereka jadi tontonan dan bahan tertawaan orang, hehe.

Ketika traveling, kedua mata penulis selalu jelalatan mencari polisi setempat. Rasanya ia merasa aman kalau bisa melihat polisi meski dari kejauhan. Paling tidak, ia tahu ke mana ia harus lari saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalaupun tidak ada polisi, cukup lihat mobil atau mengetahui di mana letak kantornya.

Kalau bukan karena pencinta laut, mungkin penulis tak akan mau pergi ke tempat-tempat terpencil di negeri ini, misalnya ke Pulau Menjangan di Bali yang belum tentu orang tahu ada di mana lokasinya. Beberapa waktu lalu, penulis baru pulang dari Lombok Timur. Meski sudah kerap ke sana, tapi ia belum pernah ke pulau-pulau di timur lautnya.

Kalau pergi ke daerah terpencil di Indonesia, memang paling enak memiliki teman penduduk lokal. Tempat yang belum komersial justru membuat penulis sangat tertarik apalagi yang sudah masuk kawasan cagar alam. Menurut penulis, semakin susah suatu tempat dicapai dan semakin jarang orang menuju ke sana, maka akan semakin bagus alamnya.

***

Judul Buku: The Naked Traveler 2

Penulis: Trinity

Penerbit: B first

Cetakan: Edisi II, Cet I, Juli 2014

Tebal: xiv + 278 halaman

ISBN: 978-602-1246-11-5

*cover buku koleksi pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun