Mohon tunggu...
Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Hobi membaca dan menulis

Mukim di Kebumen. Karya tulisnya tersebar di berbagai media cetak dan online, lokal hingga nasional seperti Kompas Anak, Republika, Jawa Pos, Koran Jakarta, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Merapi, Minggu Pagi, Lampung Post, Analisa, Bangka Pos, Kartini, Nova, dll.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Novel Mengharu Biru, Terinspirasi Kisah Nyata Jusuf Kalla dan Ibunda

6 Juli 2014   20:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:15 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kata pengantar buku ini, Bapak Jusuf Kalla menuliskan bahwa novel ini adalah kisah apa adanya tentang keluarganya yang tak mungkin semua berhias dan manis. Ada duka dan kepahitan di dalamnya. Namun, semua itulah yang membentuk beliau hingga seperti saat ini. Banyak kisah dan pelajaran berharga yang mengajarkan beliau tentang arti keikhlasan, kesetiaan, tanggung jawab dan arti sesungguhnya dari perdamaian dan persatuan.

Dikisahkan, Jusuf, tokoh utama novel ini, merupakan anak yang sangat beruntung. Sejak kecil hidupnya berhiaskan cinta. Ia merasa memiliki dua orangtua yang sempurna serta saudara-saudara yang hangat. Keluarganya termasuk keluarga berkecukupan di Makassar. Ayahnya memiliki kantor 4 lantai dan bisnisnya membuat dirinya banyak mengenal orang penting di kota tersebut.

Kisah kesuksesan bisnis Kalla, nama ayahnya Jusuf, bermula ketika ia mengikuti seorang pedagang di kampungnya. Dari pedagang baik hati dan kerap menularkan ilmunya itulah ayah belajar banyak tentang cara berniaga dengan baik, misalnya bagaimana cara menjual kain, bahan makanan, dan lain sebagainya.

Pada usia 12 tahun, ayah mencoba menjadi pedagang mandiri. Dengan kuda yang dimiliki keluarganya ia jual sejumlah barang yang dibeli dengan tabungannya. Ia menjual beraneka ragam barang, termasuk kain-kain sutra dari kampungnya. Dengan kuda itulah ia berjualan berkeliling, keluar masuk dari kampung ke kampung. Hanya butuh waktu 3 tahun, ia telah mampu membuka kios kecil di Pasar Bajoe, Watampone, pusat Kabupaten Bone.

Saat usia 15 tahun, ayah bahkan mampu menunaikan ibadah haji. Sebuah pencapaian luar biasa dari seorang anak miskin yang membuat warga di kampungnya tercengang. Saat kembali dari Makkah, ia kian piawai berdagang. Saat itulah ia bertemu dengan gadis cantik usia 13 tahun bernama Athirah. Perasaan cinta tumbuh di hati keduanya dan pada akhirnya pernikahan menjadi pelabuhan paling indah bagi setiap pasangan yang tengah dimabuk cinta.

Satu demi satu buah hati terlahir dari pasangan Kalla dan Athirah. Anak pertama, meninggal saat dilahirkan. Anak kedua, Nurani lahir tahun 1940. Anak ketiga, Jusuf, lahir tahun 1942, lalu disusul kelahiran anak keempat yang meninggal dunia di usia 4 tahun. Kemudian lahir Zohra, Saman, Ahmad dan Suhaili. Saat Emma (ibu) Athirah mengandung anak kesembilan, sebuah prahara tak diundang datang menghampiri.

Emma mencium gelagat mencurigakan suaminya yang belakangan gemar berdandan necis saat keluar rumah. “Ayahmu aneh belakang ini, Jusuf. Kau lihatlah gerak-geriknya. Ia menyisir rambutnya hampir setiap jam. Memakai krim rambut berulang-ulang hingga wanginya mencolok. Sering keluar rumah tanpa kopiah. Apakah kau lihat perubahan itu Jusuf?” (hal 11).

Jusuf yang waktu itu masih berusia 14 tahun, belum mampu menafsiri pertanyaan Emma. Sebagai seorang perempuan, Emma tentu memiliki kepekaan batin tentang perubahan suaminya. “Jusuf, perasaan Emma sangat tidak enak. Kau anak laki-laki tertua, kau jaga adik-adikmu bila terjadi sesuatu,” ucap Emma sambil berdiri sementara Jusuf masih belum bisa memahami kalimat ibunya (hal 15).

Jusuf akhirnya mengetahui kesedihan Emma melalui cerita Nurani, kakak perempuannya. Bahwa ayah mencintai perempuan lain. Perempuan yang lebih muda dan lebih cantik daripada Emma. Mendengar kabar itu, Jusuf syok. Selama ini, Jusuf pernah beberapa kali terluka akibat terjatuh. Bahkan, pahanya pernah sobek saat tinggal di Bone sebelum keluarganya pindah ke Makassar. Ia bahkan pernah berkelahi dengan kawannya. Tapi, luka hati yang ia rasakan kali ini terasa sangat ngilu dan menyiksa saat mendengar ayah mencintai perempuan lain dan hendak menikahinya.

Pada hari pernikahan ayah dan perempuan lain itu, Jusuf hanya mendekam dalam kamarnya. Ia tak ingin melihat matahari. Tak ingin tersadarkan seperti apa wajah Emma beserta wajah saudara-saudaranya. Ia ingin hari lekas berubah menjadi gelap. Yang masih ia ingat adalah kata-kata Emma yang terdengar parau dan kering pada malam hari setelah datang kabar pernikahan ayah di Jakarta, “Jusuf, tak perlu kau ingat hari ini. Cepat lupakan dan kau kembali berkonsentrasi pada sekolahmu,” (hal 26).

Sejak ayah menikah lagi, Emma dan anak-anaknya terbiasa pergi tidur tanpa mendengar lagi desah napas Ayah atau bunyi langkah kakinya. Panglima dalam keluarga mereka telah menemukan kamar lain dan bukan di rumah mereka. Sementara itu, kehamilan Emma kian membesar. Ia meniti masa hamilnya dengan penderitaan dan tetesan air mata. Hingga akhirnya anak kesembilan pun lahir, perempuan, diberi nama Siti Ramlah, tahun 1956, dalam kondisi cacat.

Tahun tersebut menjadi tahun bagi Jusuf untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Ia melewati masa-masa yang penuh dengan bumbu emosi. Kisah Jusuf adalah kisah tentang anak laki-laki yang hidup mendampingi ibunya yang sakit hati. Meski ayah tetap berusaha adil, membagi waktunya dengan keluarga lamanya, tapi tetap saja, pernikahan kedua ayah adalah realitas mengejutkan dan menorehkan luka yang sangat mendalam.

Beragam konfik, satu per satu bermunculan. Misalnya, saat Emma diteror dan dimaki-maki oleh seseorang yang menuduh telah mengganggu ayah dan keluarganya. Tentu saja ini sangat menyakitkan hati Emma, sebab seharusnya kehidupan Emma-lah yang diusik karena suaminya memutuskan menikah lagi. Sementara itu, anak-anak Emma, khususnya Nurani dan Jusuf sangat ingin memprotes ketidakadilan ayah yang tega mendua hati, tapi tak memiliki keberanian memprotes.

Novel ini terasa sungguh mengharu biru, menguras emosi, serta banyak hikmah dan pesan penting yang dapat kita petik. Saya sampai membayangkan, jika novel ini difilm-kan, kemungkinan besar akan masuk ke dalam jajaran film-film box office. (Sam Edy Yuswanto).

***

Judul Buku: Athirah

Penulis: Alberthiene Endah

Penerbit: Noura Books

Cetakan: I, Desember 2013

Tebal: 404 halaman

ISBN: 978-602-7816-67-1

*Cover buku adalah koleksi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun