Sejalan dengan terpilihnya Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan periode 2014-2019, adalah merupakan momentum yang tepat dan baik sekali di dalam usaha meningkatkan beberapa program pembinaan kelautan, terutama di dalam peningkatan kwalitas hasil tangkap dan perikanan perairan lainnya.
Beberapa metode untuk peningkatan kwalitas hasil perikanan pasca panen telah dilakukan dan hasilnya dengan berbagai macam level keyakinan dengan standar yang beragam. Namun hasil dengan kwalitas dengan cap "yakin" saja tidak cukup, karena sertifikasi dengan standar yang berlaku di internasional-lah yang dapat membuat produk bangsa ini membumi.
Bicara tentang pasar versus hasil perikanan tangkap adalah bagaikan fenomena yang aneh dan ajaib. Bagaimana tidak, berapapun hasil perikanan didapat, dengan jumlah itulah hasil tersebut dapat diserap oleh pasar. Aneh bin ajaib bukan? Tapi apakah hal ini juga berlaku pada hasil panen dari para nelayan di Indonesia?
Perang pertama yang menurut Ibu Susi selaku Menteri Kelautan adalah membenahi peraturan yang memperbolehkan untuk hasil tangkapan para nelayan dijual langsung kepada kapal besar di tengah laut. Hm..PR yang cukup pelik ya Bu, mengingat kekuatan nelayan (ASLI INDONESIA) kita hanya terbatas pada rata-rata penggunaan perahu-perahu kecil yang tidak menggunakan kapasitas lemari pendingin. Berbeda dengan kapal-kapal dari pengusaha besar yang sudah (mestinya) dilengkapi dengan peralatan yang memadai, termasuk mesin yang handal, lemari pendingin, navigasi yang prima dan masih banyak yang lainnya. Saya dengar ada seorang pengusaha yang berdomisili di Muara Karang dengan memiliki kekuatan armadanya berjumlah lebih dari 165 unit kapal tangkap. Wow banget ya…mudah-mudahan bisa menyerap banyak tenaga kerja dan dibayar bagus sesuai dengan hasil tangkapannya. Dan katanya lagi, pasar mereka 80% ekspor. Wah..apakah harga maupun konsumen pada pasar dalam negeri kita kurang menarik? Atau ada hal lainnya yang menunjang alasan tersebut?
Kembali ke materi pokok persoalan usaha dalam peningkatan kwalitas hasil perikanan dan kelautan pada umumnya, apa yang bisa kita lakukan? Salah satunya adalah dengan penerapan teknologi irradiasi dengan menggunakan cobalt-60 maupun metode lainnya seperti elektron beam dan lain sebagainya.
Fakta apa yang ada pada proses Irradiasi pangan? Yang pasti proses irradiasi ini adalah teknologi yang paling sering diterapkan di luar negeri sebagai teknologi pemrosesan pangan dalam kurun waktu 60 tahun ini. Irradiasi meningkatkan keamanan pangan dengan merusak DNA bakteri secara fatal. Hal ini akan menghentikan pertumbuhan dan reproduksi bakteri yang dapat merusak makanan maupun membuat orang sakit perut.
Saat ini, penggunaan teknologi nuklir dalam bentuk damai masih terbatas pada lembaga penelitian tertentu dan baru ada satu tempat irradiasi yang secara komersial dibuka. Dan secara kebetulan sejak tahun 1996, saya berkecimpung untuk mengerti dan memahami teknologi di bidang ini sejak tahun 1996 lewat seorang kawan yang bekerja di salah plant irradiasi komersial. Dan setelah saya memahami, saya menjadi terus menerus tertarik untuk selalu men-sosialisasi-kan keunggulan dan keuntungan penerapan irradiasi pada pangan dan non pangan kepada siapa saja yang membutuhkan. Alih-alih siapa tahu bisa memiliki kesempatan untuk menjadi pengusaha sukses dengan bisa membuka plant irradiasi sendiri.
Disisi yang lain siapa tahu Ibu Menteri Kelautan kita yang baru, Ibu Susi Pudjiastuti membaca artiker ini dan juga tertarik untuk membuka plant irradiator, saya dan team akan semangat untuk membantunya. Meski sudah ada BATAN dan BAPETEN sebagai badan resmi pemerintah, tapi secara aspek komersial bolehlah kami bersaing pengalaman dengan mereka. Minimal kami dapat membantu dengan membuka pasar yang belum tersentuh, maupun membesarkan pasar yang sudah ada. Harapannya bisa membuka plant irradiasi tersebut minimal di 4 (empat) lokasi dan masing-masing satu yaitu Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan dan Papua.
Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sudah mempunyai irradiation plant (data dari situs IAEA) contohnya Malaysia sudah punya 4 irradiation plant, China ada 8 plant, Vietnam 2 plant, Filipina 1 plant, Thailand 3 plant dan negara tercinta kita baru ada 1 plant. Jumlah ini tentu saja tidak memadai dan menunjukkan ketidakseriusan kita di dalam menangani produk setelah panen, baik hasil kelautan maupun hasil pertanian. Apalagi irradiation plant ini bisa kita pakai untuk mensterilkan bahan atau produk non pangan seperti latex. Jadi kapan Indonesia menjawab tantangan ini? Semoga segera dengan pemerintahan baru dibawah pimpinan Pak Jokowi, negeri ini bisa Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo.
adhitiasam@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H