Mohon tunggu...
Salya Pualam
Salya Pualam Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Aku dewasa sebab bahasa. Yang mengajarkan kata dengan kedalaman makna. Tertuang tanpa wicara perlu bersuara.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Hakikat Rasa

15 Mei 2019   06:41 Diperbarui: 15 Mei 2019   12:02 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak kutemui, perihal hati dan imaji yang selalu membawa nama sepi. Bertemakan ironi. Dengan konsep meratapi. 

Aku bertanya, pada hakikat sebuah rasa. Apakah memang hanya berdasar pada hal yang sama? Sesuatu yang membuat seseorang menahan tawa?

Kenapa ungkapan puitis seringnya bicara soal sakit, rindu, kecewa, putus asa, dan merana. Di mana bahagia? Tertawa? Merasa bangga? Semua hilang bak ditelan samudera.

Hah. Dunia memang lucu. Hitam selalu beradu dengan putih yang nampak lugu. Agaknya, jika hati semakin teriris, hasilnya akan makin manis. Saat jiwa erat terbelenggu, ramai orang akan termangu. Lalu semakin kecewa, yang tampak akan sangat luar biasa.

Sampai saat ini, koridor imaji, baru itu yang kupahami.

Aku masih mencari. Tentang hakikat indah dari tawa juga bahagia yang tertuang dalam prosa. Bukan tentang menangis dan juga meratapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun