Banyak kutemui, perihal hati dan imaji yang selalu membawa nama sepi. Bertemakan ironi. Dengan konsep meratapi.Â
Aku bertanya, pada hakikat sebuah rasa. Apakah memang hanya berdasar pada hal yang sama? Sesuatu yang membuat seseorang menahan tawa?
Kenapa ungkapan puitis seringnya bicara soal sakit, rindu, kecewa, putus asa, dan merana. Di mana bahagia? Tertawa? Merasa bangga? Semua hilang bak ditelan samudera.
Hah. Dunia memang lucu. Hitam selalu beradu dengan putih yang nampak lugu. Agaknya, jika hati semakin teriris, hasilnya akan makin manis. Saat jiwa erat terbelenggu, ramai orang akan termangu. Lalu semakin kecewa, yang tampak akan sangat luar biasa.
Sampai saat ini, koridor imaji, baru itu yang kupahami.
Aku masih mencari. Tentang hakikat indah dari tawa juga bahagia yang tertuang dalam prosa. Bukan tentang menangis dan juga meratapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H