"Semakin tinggi semester, semakin nyata kepalsuan sinetron menghadirkan kisah perkuliahan."
Iya begitu, begitulah adanya. Sehingga tidak heran banyak mahasiswa semester atas curhat, dan sambat, namun tidak sedikit yang berpura-pura tatag padahal jauh dalam lubuk hatinya kratak (bhs Jawa : berceceran dalam menentukan arah).
"Iso iso iso", "Jangan ngeluh, harus tetap teguh", "Sambat bukan solusi". Begitulah kurang lebih beberapa sampel yang dapat diambil dari curhatan mahasiswa menguatkan dirinya sendiri mengahadapi hiruk pikuk tugas yang silih berganti.
Bagi mahasiswa yang anti jaim (jaga image), mudah saja sedikit-sedikit mencurahkan keluhannya kepada teman sebaya atau orangtuanya. Berbagi masalah dan menggali solusi dari orang lain agar tak dipikul sendiri.
Lantas bagaimana dengan mereka yang masih malu-malu mencurahkan keluhannya sehingga berakhir memendam masalahnya sendiri. Tentunya semakin lama hal ini tidak baik untuk moodnya, kesehatannya, bahkan bisa menyebabkan depresi yang pastinya sangat merugikan dirinya sendiri.
Melihat masalah-masalah tersebut, kehadiran konselor diharapkan mampu menjadi pahlawan. Sekalipun tidak sedikit teman sebaya yang mampu hadir sebagai konselor sebab terbiasa saling berbagi masalah dan solusi.
Namun tahukah kamu, meskipun menangani masalah yang sama, keprofesionalitas teman dan konselor tidak dapat di samakan.
Konselor adalah teman, kiranya sebutan tersebut lebih pantas daripada teman adalah konselor. Konselor berkaitan dengan profesionalitas, sedangkan teman tidak berkaitan dengan profesional.
Dikatakan profesionalitas, karena menjadi konselor tidak semata-mata mempersilahkan orang mencurahkan masalahnya. Banyak kode etik seorang konselor diantaranya konselor harus lebih mengedepankan empati daripada simpati.
Empati merupakan sikap ikut merasakan masalah orang lain, namun tidak ikut larut dalam masalah tersebut melainkan berusaha memandang masalah klien dengan persepketif dirinya kemudian mengarahkan perspektif tersebut kepada klien nya.