Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi ( AKB) di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/MDG’s 2000) diharapkan pada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab tingginya AKI dan AKB antara lain persalinan yang ditolong oleh tenaga non kesehatan. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persalinan pada sasaran miskin oleh tenaga kesehatan baru mencapai 69,3%, sedangkan persalinan yang dilakukan tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4%. Masalah pemeliharaan kesehatan selama hamil, persalinan dan pasca persalinan belum mendapat perhatian secara serius. Masih banyak terjadi perkawinan usia muda dan tradisi makanan pantang yang merugikan kesehatan ibu, juga pengaturan aktivitas ibu selama hamil dan pascapersalinan yang kurang mendukung pola kesehatan modern/ ilmiah. Selain itu dalam konteks sosial budaya dalam keluarga sistem paternalistik masih mendominasi cenderung bersifat diskriminasi gender, kekuasaan dan pengambilan keputusan berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan bukan pada perempuan. Pemilihan masyarakat terhadap penolong persalinan non Nakes dikarenakan dukun dalam memberi pelayanan dirasakan lebih kekeluargaan, lebih bisa dipercaya, setiap saat siap melayani (24 jam), rumah dukun yang berada di lingkungan penduduk, pelayanan diberikan secara komprehensif yaitu aspek psikologis dan emosional, serta biaya yang jauh lebih murah. Sedangkan pelayanan bidan biaya lebih mahal, bidan jarang di tempat dan ditambah lagi dengan sikap kurang akrab, jarak rumah ke tempat bidan yang jauh dengan transportasi sulit, serta dirasakan ibu kualitas nakes kurang (keterampilan, pengalaman, dan aspek psikologis, spiritual). Pendekatan berbasis budaya adalah peran tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan tradisi untuk mempromosikan Jampersal secara berkesinambungan dan terpadu. Mereka harus mengerti secara sederhana konsep Jampersal dan bisa menjelaskan dengan “benar”, “sederhana” dan “meyakinkan” kepada masyarakat berdasarkan situasi kondisi setempat. Program Jampersal diluncurkan di Indonesia mulai Januari tahun 2011 berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan, dan sudah disosialisasikan sejak bulan April 2011.
Tujuannya adalah meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten; meningkatnya cakupan pelayanan bayi baru lahir, keluarga berencana pasca persalinan dan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir; dan terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Program Jampersal dilaksanakan oleh Rumah sakit, Puskesmas, Polindes/Pustu, rumah bersalin dan bidan praktek swasta untuk memberikan pelayanan kepada ibu hamil 4x pemeriksaan, persalinan, 3x pemeriksaan post natal, pelayanan keluarga berencana serta pelayanan rujukan. Program Jampersal diharapkan dapat mengakselerasi tujuan. MDG’s 4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status kesehatan ibu). Program Jampersal telah berjalan lebih dari satu tahun ternyata tidak sesuai dengan perkiraan. Data bulan Maret 2012 bersumber dari P2JK BUK angka ANC yang memanfaatkan Jampersal masih sangat rendah dan sangat bervariasi sebagai contoh: DKI Jakarta 0,2%, Aceh 43%, NTB 44%, Kepri 1,1%, Banten 3,3%. Masalah atau isu publik yang timbul adalah pemanfaatan Jampersal masih rendah disebabkan budaya masyarakat terutama di pedesaan masih melakukan persalinan di rumahnya tidak dengan tenaga kesehatan. Sebagian masyarakat desa terutama yang terpencil ataupun yang menganut budaya tertentu, ada suatu kepercayaan bahwa ibu hamil yang bersalin tidak di rumahnya sendiri (dibantu dukun beranak/paraji ataupun dengan bidan) tetapi di puskesmas/oleh dokter/di RS apalagi melalui operasi, maka ibu-ibu tersebut akan dipandang sebagai ibu yang lemah oleh masyarakat sekitarnya. Mereka sepertinya lebih percaya pada dukun dan lebih memilih melahirkan di rumahnya meskipun telah ada jaminan persalinan gratis dari pemerintah. Realitasnya, mereka tetap membela dukun meskipun kemudian persalinannya mengalami ‘komplikasi’ ataupun mengakibatkan suatu kerugian.
Evaluasi Program Jampersal dalam perspektif alur proses/siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi juga menilai keterkaitan antara teori (kebijakan) dengan prakteknya dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak. Dari hasil evaluasi pula kita dapat menilai apakah sebuah kebijakan program memberikan manfaat atau tidak bagi masyarakat yang dituju. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-orang yang bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas dan efisiensi, yang terkait. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat (efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan). Syarat supaya bisa mengikuti program Jampersal adalah si Ibu hamil hanya memberikan foto copy KTP (maupun kartu identitas lainnya). Artinya tidak ada golongan khusus untuk penerima program ini, baik golongan masyarakat menengah kebawah maupun golongan masyarakat ke atas. Harapannya, begitu program disahkan seharusnya sudah dilakukan publikasi secara bertahap dan menyeluruh. Namun, pihak puskesmas tidak langsung melakukan publikasi secara merata.
Akibatnya, banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas ini tidak mengetahui keberadaan program ini sejak awal tahun 2011. Namun, berbeda dengan perataan/kesamaan manfaat dari program Jampersal ini. Para peserta Jampersal di Puskesmas sudah menerima dan menikmati program ini melalui pelayanan yang diberikan pihak Puskemas.
EVALUASI PROGRAM JAMPERSAL
1. Sosialisasi belum memberikan hasil optimal
2. Bidan sebagai komunikator, ada konflik kepentingan
3. Bagi masyarakat yang penting gratis
4. Banyak ibu di perdesaan tidak punya KTP
5. Dana diwajibkan masuk kas daerah, dipotong sampai 20%.
6. Hampir semua anggaran ditetapkan secara subyektif Pemerintah Pusat